حكمة الشرب
Hikmah Pengairan
الشرب عبارة عن نصيب من الماء. والحكمة فيه أن قسمة الماء على الأراضي فيها راحة عظيمة لأرباب الأراضي والملاك لا فرق بين غني وفقير وأمير ووزير بلا تمييز وغبن على كل إنسان حتى ينتفي النزاع ذلك النزاع الذي يؤدي إلى تعطيل الأرض وحدوث المشاكل التي تشغل بال الهيئتين الحاكمة والمحكومة. وأيضًا بواسطة الشرب يكون نجاح الزرع مضمونًا في الغالب وهي حكمة جليلة.
Pengairan adalah bagian air yang diperoleh petani untuk mengairi tanah pertanian yang dimilikinya. Hikmahnya sangat agung terutama bagi tuan-tuan tanah dan pemiliknya. Tidak ada perselisihan bagi mereka masing-masing baik yang kaya atau miskin, amir atau mentri, dan penguasa atau rakyat. Perselisihan yang menyebabkan tanah tidak berfungsi. Dan menimbulkan permasalahan yang mengganggu penguasa dan rakyat. Demikian pula pengairan akan membawa keuntungan berupa hasil tanaman pada umumnya. Inilah hikmah yang agung.
وقد ورد في الكتاب العزيز حكاية عن سيدنا صالح عليه السلام:
Telah disebutkan di dalam Al Qur’an tentang cerita nabi Shaleh ‘Alaihis Salam.:
﴿ قَالَ هَذِهِ نَاقَةٌ لَّهَا شِرْبٌ وَلَكُمْ شِرْبُ يَوْمٍ مَّعْلُوم ﴾١
Artinya: Shaleh menjawab: “Ini seekor unta betina, ia mempunyai giliran untuk mendapatkan air, dan kamu mempunyai giliran pula untuk mendapatkan air di hari yang tertentu”. (Asy Syu’araa 155).
وفي هذه الآية الشريفة دليل على جواز قسمة الشرب بالأيام لأن الله سبحانه وتعالى أخبر عن سيدنا صالح عليه السلام بهذا ولم يعقبه بالنسخ فصارت شريعته شريعة لنا كما هو معلوم ومقرر في أصول الفقه. وقال تعالى:
Ayat ini menunjukkan bahwa pembagian air dalam beberapa hari diperbolehkan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah menceritakan nabi Shaleh ‘Alaihis Salam. sementara Ia tidak menghapuskannya. Maka syari’at Nuh adalah syari’at kita sebagaimana diketahui dan ditentukan di dalam ilmu Fikih. Allah Ta’ala berfirman:
﴿ وَنَبِّئْهُمْ أَنَّ الْمَآءَ قِسْمَةٌ بَيْنَهُمْ كُلُّ شِرْبٍ مُحْتَضَرٌ ﴾٢
Artinya: “Dan beritakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya air itu terbagi antara mereka (dengan unta betina itu), tiap-tiap giliran minum dihadiri (oleh yang punya giliran).” (Al Qamar 28).
وقد استدل بهذه الآية الكريمة على جواز قسمة الشرب بالأيام كما قلنا. وهذا يسمى في زماننا (بالمناوبة) وقد جاء في المبسوط ما يأتي:
Ayat ini telah digunakan sebagai dalil diperbolehkannya pembagian air dalam jangka waktu beberapa hari sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas. Hal semacam ini pada masa sekarang disebut dengan giliran. Telah disebutkan di dalam kitab Al Mabsuth sebagai berikut:
إعلم أن الشرب هو النصيب من الماء للأراضي كانت أو لغيرها. قال الله تعالى :
Ketahuilah bahwa pengairan adalah bagian air yang diperoleh (petani) untuk mengairi tanah atau lainnya. Allah Ta’ala telah berfirman:
﴿ لَّهَا شِرْبٌ وَلَكُمْ شِرْبُ يَوْمٍ مَّعْلُوْمٍ ﴾١
Artinya: “la mempunyai giliran untuk mendapatkan air, dan kamu mempunyai giliran pula untuk mendapatkan air di hari yang tertentu.” (Asy Syu’ araa: 155).
وقال تعالى: ﴿ وَنَبِّئْهُمْ أَنَّ الْمَآءَ قِسْمَةٌ بَيْنَهُمْ كُلُّ شِرْبٍ مُّحْتَضَرٌ ﴾٢
Artinya: “Dan beritakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya air itu terbagi antara mereka (dengan unta betina itu), tiap-tiap giliran minum dihadiri (oleh yang punya giliran).” (Al Qamar 28).
وقسمة الماء بين الشركاء جائزة. بعث رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ والناس يفعلون ذلك فأقرهم عليه والناس تعاملوه من لدن رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلى يومنا هذا من غير نكير منكر. وهو قسمة تجري باعتبار الحق دون الملك، إذ الماء في النهر غير مملوك لأحد اهـ.
Pembagian air di kalangan sesama teman itu boleh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, sementara manusia melakukan hal itu, kemudian beliau menetapkannya dan mereka melakukannya karena ketetapan dari rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai sekarang tanpa ada yang membantahnya. Yaitu bagian air yang mengalir berdasarkan hak bukan berdasarkan pemilikan. Karena air sungai tidak seorangpun memilikinya.