Menyelenggarakan Shalat Jum’at di Daerah yang Ada Mesjid dan Telah Menyelenggarakan Shalat Jum’at
Pertanyaan :
Bagaimanakah hukumnya menyelenggarakan Jum’at di daerah yang telah ada mesjid yang menyelenggarakan Jum’at sebelumnya?.
Jawab :
Dalam mazhab Syafi’i, penyelenggaraan Jum’at lebih dari satu (ta’addud al-Jum’ah) yang melebihi hajah hukumnya tidak boleh. Yang dimaksud hajah ialah: Sulit berkumpul (‘usr al-ijtima’) antara lain karena sempitnya (dhaiq al-makan) atau adanya permusuhan (‘adawah), atau jauhnya pinggir-pinggir negeri (athraf al-balad).
Keterangan, dari kitab:
- Shulh al-Jama’atain bi Jawaz Ta’addud al-Jum’atain [1]
إِذَا عَرَفْتَ أَنَّ أَصْلَ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ عَدَمُ جَوَازِ تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَلَدٍ وَاحِدٍ وَأَنَّ جَوَازَ تَعَدُّدِهِ أَخَذَهُ اْلأَصْحَابُ مِنْ سُكُوْتِ الشَّافِعِيِّ عَلَى تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَغْدَادَ وَحَمَّلُوْا الْجَوَازَ عَلَى مَا إِذَا حَصَلَتِ الْمَشَقَّةُ فِي الاجْتِمَاعِ كَالْمَشَقَّةِ الَّتِيْ حَصَلَتْ بِبَغْدَادَ وَلَمْ يُضْبِطُوْهَا بِضَابِطٍ لَمْ يَخْتَلِفْ فَجَاءَ الْعُلَمَاءُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَضَبَطَهَا كُلُّ عَالِمٍ مِنْهُمْ بِمَا ظَهَرَ لَهُ وَبَنَى الشَّعْرَانِيُّ أَنَّ مَنْعَ التَّعَدُّدَ لِأَجْلِ خَوْفِ الْفِتْنَةِ وَقَدْ زَالَ. فَبَقِيَ جَوَازُ التَّعَدُّدِ عَلَى اْلأَصْلِ فِيْ إِقَامَةِ الْجُمْعَةِ وَقَالَ أَنَّ هَذَا هُوَ مُرَادُ الشَّارِعِ وَاسْتَدَلَّ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ التَّعَدُّدُ مَنْهِيًّا بِذَاتِهِ لَوَرَدَ فِيْهِ حَدِيْثٌ وَلَوْ وَاحِدًا وَالْحَالُ أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ شَيْءٌ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ سُكُوْتَ النَّبِيِّ
كَانَ لِأَجْلِ التَّوْسِعَةِ عَلَى أُمَّتِهِ
Jika Anda tahu, bahwa dasar mazhab Syafi’i tidak memperbolehkan shalat Jum’at lebih dari satu di satu daerah, dan kebolehannya telah diambil oleh para Ashhab dari diamnya Imam Syafi’i atas Jum’atan lebih dari satu di kota Baghdad, dan para Ashhab memahami kebolehannya pada situasi para jamaah sulit berkumpul, seperti kesulitan yang terjadi di Baghdad, mereka pun tidak memberi ketentuan kesulitan itu yang tidak (pula) diperselisihkan, lalu muncul para ulama dan generasi sesudahnya, dan setiap ulama menentukan kesulitan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka, dan al-Sya’rani menyatakan bahwa pencegah Jum’atan lebih dari satu adalah kekhawatiran terjadi jum’ah dan hal itu sudah hilang, maka kebolehan Jum’atan lebih dari satu itu berdasarkan hukum asal tentang pelaksanaan shalat Jum’at. Beliau berkata: “Inilah maksud (Nabi Saw.) pembawa syari’ah.” Beliau berargumen, bahwa bila pendirian shalat Jum’at lebih dari satu itu dilarang secara dzatnya, niscaya akan terdapat hadits yang menerangkannya, meskipun hanya satu. Sementara tidak ada satupun hadits yang menyatakan begitu. Maka hal itu menunjukkan bahwa diamnya Nabi Saw. Itu bertujuan member kelonggaran kepada umatnya.
2. Al-Mizan al-Kubra [2]
وَمِنْ ذلِكَ قَوْلُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَعَدُّدُ الْجُمْعَةِ فِي بَلَدٍ إِلَّا إِذَا كَثَرُوا وَعَسُرَ اجْتِمَاعُهُمْ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ
Termasuk yang diperselisihkan adalah pendapat imam madzhab empat, yaitu tidak boleh jum’atan lebih dari satu dalam satu daerah, kecuali jika penduduknya banyak dan sulit berkumpul di satu tempat.
3. Bughyah al-Mustarsyidin [3]
وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلَامِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلَاثَةٌ ضَيِّقُ مَحَلِّ الصَّلَاةِ بِحَيْثُ لَا يَسَعُ اْلُمجْتَمِعِينَ لَهَا غَالِبًا وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ وَبُعْدُ أَطْرَافِ الْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لَا يُسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءِ أَوْ بِمَحَلٍّ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِكْهَا إِذْ لَا يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلَّا بَعْدَ الْفَجْرِ
Dan kesimpulan pendapat para imam adalah, sungguh sebab boleh mendirikan jum’atan lebih dari satu itu ada tiga.
- Tempat shalat jum’at yang sempit, yakni tidak cukup menampung para jamaah jum’at secara umum.
- Pertikaian antara dua kelompok masyarakat dengan syaratnya.
- Jauhnya ujung desa, yaitu bila seseorang berada di satu tempat (ujung desa) tidak bisa mendengar adzan, atau di tempat yang bila ia pergi dari situ setelah waktu fajar ia tidak akan menemui shalat jum’at, sebab ia tidak wajib pergi jum’atan melainkan setelah fajar.
[1] Ahmad Khatib al-Minagkabawi, Shulh al-Jama’atain bi Jawaz Ta’addud al-Jum’atain, (Mesir: al-Mathba’ah al-Miyariyah, 1312 H), h. 29.
[2] Abdul Wahhab al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Musthafa al-Halabi, t. th.), Juz II, h. 13.
[3] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Indonesia: al-Haramain, t. th.), h. 79.
Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 360 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-27 Di Situbondo Pada Tanggal 8-12 Desember 1984