Adzan Pertama (Sebelum Khotib Naik Mimbar)
Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya adzan sebelum khotib di atas mimbar (adzan pertama), dan bagaimana hukumnya Muraqqi membaca: Ma’asyiral muslimin dan seterusnya, dan bagaimana hukumnya mengucapkan “amin” sewaktu khotib mendoa. Apakah semua itu sunnah atau boleh?, Ataukah haram?.
Jawab :
Adapun adzan pertama, hukumnya sunnah, tentang bacaannya Muraqqi di dalam soal itu adalah bid’ah hasanah. Adapun ucapan “amin” sewaktu khotib membaca do’a tidak dengan suara keras, maka hukumnya tidak jauh dari sunnah. Lihat putusan Muktamar ke I masalah nomor 2, tentang hukumnya ucapan “radhiyallah” dan shalawat sewaktu khotbah.
Keterangan, dari kitab:
- Tanwir al-Qulub [1]
فَلَمَّا كَثُرَ النَّاسُ فِيْ عَهْدِ عُثْمَانَ أَمَرَهُمْ بِأَذَانٍ آخَرَ عَلَى الزَّوْرَآءِ وَاسْتَمَرَّ اْلأَمْرُ إِلَى زَمَانِنَا هَذَا. وَهَذَا اْلأَذَانُ لَيْسَ مِنَ الْبِدَعِ لِأَنَّهُ فِيْ زَمَانِ الْخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ)
Ketika orang-orang sudah semakin banyak pada masa Khalifah Utsman, maka beliau memerintahkan untuk mengumandangkan adzan lagi di al-Zaura’ (tempat yang menjulang tinggi seperti menara di pasar Madinah yang berdekatan dengan masjid), dan adzan yang ke dua itu berlangsung sampai sekarang. Dan adzan yang kedua itu bukan bid’ah karena telah terjadi di masa Khulafaur Rasyidin, sesuai sabda Rasulullah Saw.: “Berpegang teguhlah kalian dengan sunnah (ajaran)ku dan sunnah Khulafa’ al-Rasyidin.” (HR. Abu Dawud dan selainnya)
- Al-Tajrid li Naf’ al-‘Abid [2]
(قَوْلُهُ فَيُؤَذِّنُ وَاحِدٌ) وَأَمَّا مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِيْ زَمَانِنَا مِنْ مُرَقٍّ يَخْرُجُ بَيْنَ يَدَيِ الْخَطِيْبِ يَقُوْلُ إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ اْلآيَةَ إِلَى أَنْ قَالَ فَعُلِمَ أَنَّ هَذَا بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ .
Adapun adat yang berlaku pada masa kita sekarang ini yaitu seorang muraqqi di depan khotib dengan membaca إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ … maka diketahui bahwa hal ini adalah bid’ah hasanah.
- Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin [3]
وَيُسَنُّ تَشْمِيْتُ الْعَاطِشِ وَالرَّدُّ عَلَيْهِ وَرَفْعُ الصَّوْتِ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَيْهِ r عِنْدَ ذِكْرِ الْخَطِيْبِ اسْمَهُ أَوْوَصْفَهُ r قَالَ شَيْخُنَا وَلاَ يَبْعُدُ نَدْبُ التَّرَضِّي عَلَى الصَّحَابَةِ بِلاَ رَفْعِ صَوْتٍ وَكَذَا التَّأْمِيْنُ لِدُعَاءِ الْخَطِيْبِ. (قَوْلُهُ وَرَفْعُ الصَّوْتِ) أَيْ وَيُسَنُّ رَفْعُ الصَّوْتِ حَالَ الْخُطْبَةِ (قَوْلُهُ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ) أَمَّا مَعَهَا فَيُكْرَهُ (قَوْلُهُ وَلاَ يَبْعُدُ نَدْبُ التَّرَضَّى عَنِ الصَّحَابَةِ) أَيْ تَرَضِّى السَّامِعِيْنَ عَنْهُمْ عِنْدَ ذِكْرِ الْخَطِيْبِ أَسْمَاءَهُمْ (قَوْلُهُ بِلَا رَفْعِ صَوْتٍ) مُتَعَلِّقٌ بِنَدْبُ أَمَّا مَعَ رَفْعِ الصَّوْتِ فَلاَ يُنْدَبُ لِأَنَّ فِيْهِ تَشْوِيْشًا .
Disunnahkan membaca hamdalah bagi orang bersin dan menjawabnya, serta mengeraskan suara shalawat dan salam pada Nabi Saw. tanpa berlebihan ketika khotib menyebut nama atau sifat beliau. Guruku (Ibn Hajar al-Haitami) berkata: “Dan tidak jauh dari kebenaran kesunnahan membaca radhiyallahu ‘anh bagi para sahabat tanpa mengeraskan suara. Begitu pula membaca amin karena doa khotib. (Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Dan mengeraskan suara.”) maksudnya dan sunnah mengeraskan suara ketika khotbah. (Ungkapan beliau: “Tanpa berlebihan.”) Bila disertai berlebihan, maka dimakruhkan. (Ungkapan beliau: “Dan tidak jauh dari kebenaran kesunnahan membaca radhiyallahu ‘anh bagi para sahabat.”) Maksudnya taradhi orang-orang yang mendengar para sahabat disebutkan namanya oleh khotib. (Ungkapan beliau: “tanpa mengeraskan suara.”) berhubungan dengan kata نَدْبُ. Sedangkan bila dengan mengeraskan suara maka tidak disunnahkan, karena menggangu orang lain.
[1] Muhammad Amin al-Kurdi Al-Irbili, Tanwir al-Qulub fi Mu’ammalah ‘Allam al-Ghuyub, (Indonesia: maktabah Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah), h. 179.
[2] Sulaiman al-Bujairimi, al-Tajrid li Naf’ al-‘Abid, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1345), Jilid I, h. 395-393.
[3] Zainuddin al-Malibari dan Abu Bakar bin Muhammad Syatha al-Dimyathi, Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), Juz II, h. 86-87.
Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 270 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-15 Di Surabaya Pada Tanggal 10 Dzulhijjah 1359 H. / 9 Pebruari 1940 M.