Keluarnya Orang Perempuan Bersama Wanita Lain untuk Bershalat Hari Raya
Pertanyaan :
Bagaimana hukum keluarnya orang-orang perempuan untuk mendatangi shalat ‘Ied bersama-sama dengan para wanita yang berbuat baik? Dan apakah sah khotbah ‘Ied dengan khotib perempuan, ataukah tidak sah ?.
Jawab :
Disunnahkan bagi para perempuan, bershalat ‘Ied, berjamaah di rumahnya, adapun keluar untuk mendatangi shalat ‘Ied di mesjid atau lainnya, maka hukumnya sunat bagi perempuan yang tua-tua, dan perempuan yang tidak beraksi, atau cantik dengan tidak berpakaian necis dan tidak memakai wangi-wangian, serta aman dari fitnah, dan makruh bagi orang-orang tua yang pakai wangi-wangian atau berpakaian necis, dan makruh pula bagi perempuan yang beraksi atau cantik dengan tidak berpakaian necis dan tidak pakai wangi-wangian atau dengan takut fitnah, dan haram bagi orang perempuan beraksi atau cantik apabila berpakaian necis atau pakai wangi-wangian atau menyangka adanya fitnah, atau dengan tidak seizin lelakinya, dan tidak sah khotbah ‘Ied dengan khotib perempuan, bahkan haram apabila sengaja khotbah syariah atau sengaja menyerupai laki-laki, karena mengerjakan ibadah yang tidak sah (fasid) dan disamakan dengan hukumnya azan.
Keterangan, dari kitab:
- Fatawa al-Imam al-Nawawi [1]
مَسْأَلَةٌ هَلْ تُسْتَحَبُّ لِلنِّسَآءِ صَلاَةُ الْعِيْدِ جَمَاعَةً فِيْ بُيُوْتِهِنَّ وَتُؤَمِّهُنَّ إِحْدَاهُنَّ أَوْ مَحْرَمٌ أَوْ صَبِيٌّ مُمَيِّزٌ (الْجَوَابُ) نَعَمْ يُسْتَحَبُّ ذَلِكَ وَيُسْتَحَبُّ حَثُّهُنَّ عَلَيْهِ .
Pertanyaan, apakah disunatkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat hari raya secara berjamaah di rumah mereka dan salah seorang dari mereka menjadi imam, atau mahramnya atau anak kecil yang sudah pandai? Jawaban, ya demikian itu disunatkan, dan disunatkan mendorong wanita untuk melaksanakannya.
- Al-Minhaj al-Qawim [2]
وَيُسَنُّ خُرُوْجُ الْعَجُوْزِ لِصَلَوَاتِ الْعِيْدِ وَالْجَمَاعَاتِ بِبَذْلَةٍ أَيْ فِيْ ثِيَابِ مِهْنَتِهَا وَشُغْلِهَا بِلاَ طِيْبٍ وَيَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ وَيُكْرَهُ بِالطِّيْبِ وَالزِّيْنَةِ كَمَا يُكْرَهُ الْحُضُوْرُ لِذَوَاتِ الْهَيْآتِ .
Disunatkan bagi wanita yang sudah tua untuk keluar melaksanakan shalat hari raya secara berjamaah dengan mengenakan pakaian kerja kesehariannya tanpa memakai parfum dan membersihkan tubuhnya dengan air. Dimakruhkan mempergunakan parfum dan make up sebagaimana dimakruhkan bagi wanita muda yang cantik untuk menghadirinya.
- Fath al-Wahhab dan al-Tajrid li Naf’ al-‘Abid [3]
أَمَّا النِّسَآءُ فَيُكْرَهُ لِذَوَاتِ الْهَيْآتِ الْحُضُوْرُ فَيُسَنُّ لِغَيْرِهِنَّ وَيَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ وَلاَيَتَطَيَّبْنَ وَيَخْرُجْنَ فِيْ ثِيَابِ بَذْلَتِهِنَّ وَتَخْرُجُ الْعَجُوْزُ وَالشَّابَةُ غَيْرُ الْجَمِيْلَةِ إِذَا لَمْ تَتَزَيَّنَا بَرْمَاوِي فَالْمُرَادُ بِذَوَاتِ الْهَيْئَةِ بَدَنًا وَمَلْبَسًا.
Adapun wanita, maka makruh menghadiri jamaah shalat Id bagi mereka yang cantik. Maka bagi selain mereka, disunatkan menghadirinya, dan membersihkan tubuhnya dengan air, tidak memakai parfum dan keluar dengan pakaian kesehariannya. Wanita yang sudah tua dan gadis yang tidak cantik boleh menghadiri jamaah shalat Id jika tidak berhias. Begitu menurut al-Barmawi. Maka yang dimaksud dengan dzawat al-hay’ah (cantik) adalah cantik tubuh dan busananya.
- Is’ad al-Rafiq ‘ala Sullam al-Taufiq [4]
وَقَوْلُهُ r انْهَوْا نِسَآئَكُمْ عَنْ لُبْسِ الزِّيْنَةِ وَالتَّبَخْتُرِ فِي الْمَسْجِدِ فَإِنَّ بَنِيْ إِسْرَآئِيْلَ لَمْ يُلْعَنُوْا حَتَّى لَبِسَتْ نِسَآئُهُمْ الزِّيْنَةَ وَالتَّبَخْتُرَ فِي الْمَسْجِدِ. قَالَ فِي الزَّوَاجِرِ: وَهُوَ مِنَ الْكَبَآئِرِ لِصَرِيْحَ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ. وَيَنْبَغِيْ حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ قَوَاعِدَنَا عَلَى مَا إِذَا تَحَقَّقَّتْ الْفِتْنَةُ. أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهَا فَإِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرَةٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ. وَعُدَّ مِنَ الْكَبَآئِرِ أَيْضًا خُرُوْجُهَا بِغَيْرِ إِذْنِ زَوْجِهَا وَرِضَاهُ لِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ شَرْعِيَّةٍ.
Rasulullah Saw. bersabda: “Laranglah wanita kalian memakai perhiasan dan berlagak genit di mesjid. Sesungguhnya Bani Israil tidak dilaknat sampai wanita-wanita mereka memakai perhiasan dan bergenit ria di mesjid.” Dalam al-Zawajir Ibn Hajar al-Haitami berkata: ”Bahwa sesuai kejelasan hadits-hadits ini, perbuatan semacam itu termasuk dosa besar. Dan hal ini, semestinya dipahami jika nyata-nyata menimbulkan fitnah. Sedangkan sekedar kekhawatiran adanya fitnah maka hukumnya makruh, dan bila besertaan dugaan kuat adanya fitnah maka haram yang tidak termasuk dosa besar, sebagaimana cukup jelas. Termasuk dosa besar juga, adalah keluarnya wanita tanpa izin dan persetujuan suaminya untuk keperluan yang tidak mendesak secara syar’i.”
- Hasyiyah al-Syirwani[5]
(قَوْلُهُ بِقَدْرِ مَا يُسْمَعْنَ إلخ) أَيْ وَلَمْ تَقْصُدْ اْلأَذَانَ الشَّرْعِيَّ. فَإِنْ رَفَعَتْ فَوْقَ ذَلِكَ أَوْ أَرَادَتْ اْلأَذَانَ الشَّرْعِيَّ حَرُمَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ثَمَّ أَجْنَبِيٌّ. نَعَمْ إِنْ قَصَدَتْ مَعَ عَدَمِ رَفْعِ صَوْتِهَا التَّشَبُّهَ بِالرِّجَالِ حَرُمَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ. وَكَذَا إِنْ قَصَدَتْ حَقِيْقَةَ اْلأَذَانِ فِيْمَا يَظْهَرُ لِقَصْدِهَا عِبَادَةً فَاسِدَةً وَمَا يَتَضَمَّنُ التَّشَبُّهَ بِالرِّجَالِ .
(Yang diperbolehkan) hanya sekedar bisa didengar sesama jamaah wanita, dan tidak bermaksud untuk mengumandangkan azan syar’i. Jika seorang wanita mengeraskan suaranya lebih dari itu, atau bermaksud mengumandangkan azan syar’i, maka hukumnya haram walaupun di sana tidak ada laki-laki lain (bukan mahram). Memang begitu, jika ia bermaksud menyerupai laki-laki walaupun tanpa mengeraskan suara, sebagaimana cukup jelas. Begitu pula bila ia bermaksud mengumandangkan adzan, menurut pendapat yang cukup kuat, karena maksudnya melakukan ibadah fasidah (rusak) dan unsur tasyabuh (menyerupai) laki-laki yang ada.
- Hasyiyah al-Bajuri [6]
(قَوْلُهُ خُطْبَتَيْنِ) كَخُطْبَتَيِ الْجُمْعَةِ فِي اْلأَرْكَانِ لاَ فِي الشُّرُوْطِ فَإِنَّهَا لاَتُشْتَرَطُ هُنَا بَلْ تُسْتَحَبُّ اْلإِسْمَاعُ وَالسَّمَاعُ وَكَوْنُ الْخُطْبَةِ عَرَبِيَّةً وَكَوْنُ الْخَطِيْبِ ذَكَرًا .
(Dua khotbah) seperti khotbah Jum’at dalam rukun-rukunnya dan bukan dalam syarat-syaratnya, karena syarat-syaratnya tidak disyaratkan di sini. Namun, disunatkan memperdengarkan dan mendengarkan khotbah, adanya khotbah dengan bahasa arab dan si khotib laki-laki.
[1] Alauddin Ibn al-Authar, Fatawa al-Imam al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1402 H/1983 M), h. 43.
[2] Ibn Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim pada al-Hawasyi al-Madaniyah, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1366 H), Jilid II, h. 57.
[3] Zakaria al-Anshari dan Muhammad Sulaiman al-Bujairimi, Fath al-Wahhab dan al-Tajrid li Naf’i al-‘Abid, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1369 H/1950 M), Jilid I, h. 427.
[4] Muhammad Babashil, Is’ad al-Rafiq ‘ala Sullam al-Taufiq, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah t. th.), Juz II, h. 136.
[5] Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani (Mesir: Dar al-Shadir, t. th.), Jilid I, h. 467.
[6] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1340 H/1922 M), Jilid I, h. 235.
Sumber: Ahkamul Fuqaha no.258 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-15 Di Surabaya Pada Tanggal 10 Dzulhijjah 1359 H. / 9 Pebruari 1940 M.