MENDIRIKAN MESJID DI LUAR BATAS DESANYA
Pertanyaan :
Kalau mendirikan mesjid di luar batas desa sampai kira-kira sejauh 50 meter (seperti mesjid Binangun Sedayu) demikian itu karena mengikuti mata air (sumber air) atau karena memudahkan datangnya orang. Walaupun di luar batas, tetapi masih termasuk desa itu, apakah boleh mendirikan Jum’at dalam mesjid tersebut?
Jawab :
Betul boleh dan sah mendirikan Jum’at di mesjid tersebut asal tempat mesjid itu masih termasuk desa itu, yakni belum diperbolehkan shalat qashar di tempat itu, bagi orang yang bepergian (musafir). Apabila tidak termasuk desa itu, maka tidak sah mendirikan Jum’at.
Keterangan, dari kitab:
- Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin[1]
وَلَوْ بِفَضَاءَ مَعْدُوْدٍ مِنْهَا بِأَنْ كَانَ فِيْ مَحَلٍّ لاَ تُقْصَرُ فِيْهِ الصَّلاَةُ وَإِنْ لَمْ يَتَّصِلْ بِاْلأَبْنِيَةِ بِخِلاَفِ مَحَلٍّ غَيْرِ مَعْدُوْدٍ مِنْهَا وَهُوَ مَا يُجَوِّزُ السَّفَرُ الْقَصْرَ مِنْهُ.
قَالَ اْلأَذْرَعِيّ وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْقُرَى يُؤَخِّرُوْنَ الْمَسْجِدَ عَنْ جِدَارِ الْقَرْيَةِ قَلِيْلاً صِيَانَةً لَهُ عَنْ نَجَاسَةِ الْبَهَائِمِ. وَعَدَمُ انْعِقَادِ الْجُمْعَةِ فِيْهِ بَعِيْدٌ. إهـ.
Walaupun di tanah lapang yang masih terhitung bagian daerah tersebut, seperti di tempat yang belum boleh mengqashar shalat, meski tidak sambung dengan bangunan pemukiman. Berbeda dengan tempat yang tidak terhitung sebagai bagian daerah tersebut, yaitu tempat yang bepergian bisa menjadi sebab bolehnya shalat qashar dari tempat tersebut. Menurut Imam al-Adzra’i, kebanyakan penduduk desa meletakkan mesjid sedikit di belakang tembok (batas) desa demi menjaga terkena najis binatang. Dan ketidakabsahan shalat Jum’at di tempat itu adalah kesimpulan sangat jauh dari kebenaran.
- Asna al-Mathalib[2]
وَقَوْلُ أَبِي الطَّيِّبِ قَالَ أَصْحَابُنَا لَوْ بَنَى أَهْلُ الْبَلْدَةِ مَسْجِدَهُمْ خَارِجَهَا لَمْ تَجُزْ إِقَامَةُ الْجُمْعَةِ فِيْهِ لاِنْفِصَالِهِ عَنِ الْبُنْيَانِ مَحْمُوْلٌ عَلَى انْفِصَالٍ لاَ يُعَدُّ بِهِ مِنَ الْقَرْيَةِ.
Perkataan Abu Thayyib: “Ashhab kita (Syafi’iyah) berpendapat: “Bila penduduk suatu daerah membangun mesjid mereka di luar daerahnya, maka tidak boleh mendirikan shalat Jum’at di mesjid itu karena terpisah dari bangunan-bangunan pemukiman.” itu diarahkan pada kasus mesjid terpisah yang tidak terhitung dari bagian desa.
[1] Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in dalam al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t .th). Jilid II, h. 59.
[2] Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1422 H/2001 M), Cet. Ke-1, Jilid II, h. 112-113.
Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 142
KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-8
Di Jakarta Pada Tanggal 12 Muharram 1352 H. / 7 Mei 1933 M.