حكمة المحرمات على التأبيد
Perempuan yang Diharamkan Selama-lamanya
بعد أن بينا في الفصول المتقدمة الحكم الجليلة بخصوص المحرمات يحسن بنا أن تذكر في هذا الفصل كلام العلامة صاحب البدائع بتصرف لتتم الفائدة لديك قال:
Setelah kita terangkan dalam beberapa judul yang lalu tentang hikmah diharamkannya beberapa perempuan untuk dikawin, sebaiknya kami sebutkan di sini tulisan pemilik kitab al-Badai’ agar lebih sempurna:
المحرمات على التأبيد ثلاثة أنواع: محرمات بالقرابة. ومحرمات بالمصاهرة. و محرمات بسبب الرضاع.
Perempuan yang diharamkan (muharramat) selama-lamanya ada tiga macam:
A. Muharramat karena nasab.
B. Muharramat karena mushaharah (hubungan keluarga karena pernikahan).
C. Muharramat karena susuan.
أما النوع الأول وهو المحرم بسبب القرابة فسبع فرق: الأمهات. والبنات. والأخوات. والعمات. والخالات. وبنات الأخ وبنات الأخت. قال الله تعالى:
- Muharramat Karena Nasab.
Yaitu:
- Ibu dan ibunya (nenek), ibu dari bapak dan seterusnya sampai ke atas.
- Anak perempuan dan cucu seterusnya ke bawah.
- Saudara perempuan seibu-sebapak, sebapak, atau seibu saja.
- Saudara perempuan bapak.
- Saudara perempuan ibu.
- Anak perempuan saudara laki-laki dan seterusnya.
- Anak perempuan saudara perempuan dan seterusnya. Dalil yang menunjukkan semuanya itu adalah firman Allah:
﴿ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ ﴾١.
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan” Al-Nisa’ : 23.
أخبر الله تعالى عن تحريم هذه المذكورات. وبيان ذلك تحرم على الرجل أمه بنص الكتاب وهو قوله:
Allah Subhanahu wa ta’ala. telah mengharamkan orang-orang yang tersebut di atas. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Seorang laki-laki dilarang kawin dengan ibunya berdasarkan nash al-Quran yaitu:
﴿ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ ﴾٢
Kemudian diharamkan pula neneknya dari pihak ayah atau ibu berdasarkan petunjuk nash tersebut. Allah melarang kawin dengan saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu yang mereka itu tidak lain adalah anak nenek. Maka nenek lebih tinggi kedudukannya dari mereka. Larangan kawin dengan saudara perempuan ayah atau ibu menunjukkan larangan kawin dengan nenek. Menghinanya sedikit saja tidak boleh apa lagi memaki dan memukul. Inilah ijma’ ummat.
و تحرم عليه جداته من قبل أبيه وأمه وإن علون بدلالة النص. لأن الله تعالى حرّم العمات والخالات وهن أولاد الجدات. فكانت الجدات أقرب منهن فكان تحريمهن تحريمًا للجدات من طريق الأولى. لتحريم التأفيف نصًا يكون تحريمًا للشتم والضرب دلالة وعليه إجماع الأمة.
وتحرم عليه بناته بالنص وهو قوله تعالى: ﴿ وَبَنَاتُكُمْ ﴾۳ سواء أكانت بنته من النكاح أو من السفاح لعموم النص. وقال الشافعي رضي الله عنه: لا تحرم عليه البنت من السفاح لأن نسبها لم يثبت منه فلا تكون مضافة إليه شرعًا. فلا تدخل تحت نص الإرث والنفقة في قوله تعالى:
Dilarang kawin dengan anak-anak perempuan, berdasarkan nash ”وَبَنَاتُكُمْ”, baik anak hasil pemikahan atau anak hasil perzinaan mengingat umumnya nash. Namun Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa anak dari hasil perzinaan itu tidak haram dikawin sebab nasabnya belum tentu dari dia, maka tidak boleh dinisbatkan sepenuhnya kepada dia. Oleh karena itu, menurut al-Syafi’i, anak dari hasil perzinaan tidak bisa memperoleh warisan dan nafkah yang disebut dalam firman Allah:
﴿ يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ﴾١
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”. Al-Nisa’: 11.
وفي قوله تعالى: ﴿ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ ﴾٢ كذا هنا.
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik”. Al-Baqarah: 233.
وأما الحنفية فتقول: بنت الإنسان اسم لأنثى مخلوقة من مائه حقيقة والكلام فيه فكانت بنته حقيقة. إلا أنه لا تجوز الإضافة شرعًا إليه لما فيه من إشاعة الفاحشة. وهذا لا ينفي النسبة الحقيقية لأن الحقائق لا مرد لها. وهكذا تقول الحنفية في الإرث والنفقة إن النسبة الحقيقية ثابتة إلَّا أن الشرع اعتبر هذا ثبوت النسب شرعًا لجريان الإرث والنفقة لمعنى. ومن ادعى ذلك هنا فعليه البيان.
Abu Hanifah berpendapat bahwa anak perempuan seseorang adalah merupakan seorang wanita yang tercipta dari air maninya secara sungguh- sungguh, maka meskipun dari hasil perzinaan dia tetap menjadi anaknya yang resmi. Hanya saja secara syara’ tidak boleh dinisbatkan kepada nasab bapaknya jika anak tersebut hasil dari perbuatan zina. Ketentuan syara’ semacam itu tidak menghapus adanya nisbat hakiki karena secara hakiki dia adalah anaknya. Begitu pula pendapat Abu Hanifah tentang warisan dan nafkah.
وتحرم بنات بناته وبنات أبنائه وإن سفلن بدلالة النص. لأنهن أقرب من بنات الأخ وبنات الأخت ومن الأخوات أيضًا لأن الأخوات أولاد أبيه وهن أولاد أولاده.
Haram kawin dengan anak perempuan anak laki-laki atau anak perempuan (cucu) dan seterusnya ke bawah berdasarkan petunjuk nash, yaitu karena lebih dekat dari anak perempuan saudara laki-laki dan anak perempuan saudara perempuan, juga lebih dekat dari saudara-saudara perempuan karena saudara perempuan adalah anak bapaknya sedangkan cucu adalah anak dari anaknya.
فكان ذكر الحرمة هناك ذكر للحرمة هاهنا دلالة. وعليه إجماع الأمة.
Diharamkanya kawin dengan cucu adalah berdasarkan petunjuk (dalalah) nash yang disepakati secara ijma’.
وتحرم عليه أخواته وعماته وخالاته بالنص وهو قوله تعالى:
Haram pula kawin dengan saudara-saudara perempuan, saudara perempuan bapak dan saudara perempuan ibu berdasarkan nash, yaitu firman Allah:
﴿ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ ﴾۳ سواء كن لأب وأم أو لأب أو لأم. لإطلاق اسم الأخت والعمة والخالة. ويحرم عليه عمة أبيه وخالته لأب وأم أو لأب أو لأم. وعمة أمه وخالته لأب وأم أو لأب أو لأم بالإجماع. وكذا عمة جده وخالته وعمة خالته وخالتها لأب وأم أو لأب أو لأم تحرم بالإجماع.
“Saudara perempuan di atas mencakup saudara kandung, saudara perempuan sebapak dan saudara perempuan seibu sesuai dengan keumuman ayat, lantas diharamkan secara ijma’ bibi bapak atau bibi ibu (saudara perempuan nenek), baik saudara perempuan nenek kandung, saudara perempuan nenek seayah atau saudara perempuan nenek seibu. Diharamkan pula secara ijma’ bibi nenek kandung, bibi nenek seayah atau bibi nenek seibu dan begitu seterusnya ke atas.
وتحرم عليه بنات الأخ وبنات الأخت بالنص وهو قوله تعالى:
Diharamkan kawin dengan anak perempuan saudara laki-laki dan anak perempuan saudara perempuan berdasarkan ayat:
﴿ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ ﴾٤ وتحرم عليه بنات بنات الأخ والأخت وإن سفلن بالإجماع. ومنهم من قال إن حرمة الجدات وبنات البنات ونحوهن ممن ذكرنا ثبتت بالنص أيضًا لانطلاق الاسم عليهن. فإن جدة الإنسان تسمى أمًا له وبنت بنته تسمى بنتًا له فكانت حرمتهن ثابتة بعين النص.
Kemudian diharamkan berdasarkan ijma’ anak perempuan dari anak saudara laki-laki atau anak perempuan dari anak saudara perempuan dan begitu seterusnya ke bawah. Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa diharamkannya nenek dan cucu yang kami sebutkan di atas bukan ditetapkan secara ijma’ tetapi secara nash, sebab nama itu disebutkan untuk mereka. Menurut Ulama itu, nenek perempuan disebut juga ibu dan cucu perempuan disebut juga anak perempuan, maka haramnya untuk dinikahi ada disebutkan dalam nash.
لكن هذا لا يصح إلّا على قول من يقول يجوز أن يراد الحقيقة والمجاز من لفظ واحد إذا لم يكن بين حكميهما منافاة لأن إطلاق اسم الأم على الجدة وإطلاق اسم البنت على بنت البنت بطريق المجاز. ألَّا ترى أن من نفى اسم الأم والبنت عنهما كان صادقًا في النفي وهذا من العلامات التي يفرق بها بين الحقيقة والمجاز. وقد ظهر أمر هذه التفرقة في الشرع أيضًا.
Namun pernyataan tersebut tidak benar kecuali bagi orang yang berpendapat bahwa hakekat dan majaz terjadi dari satu lafadh bila tidak ada suatu yang dihilangkan pada hukum masing-masing. Pernyataan itu tidak benar sebab memanggil nama ibu untuk nenek dan menyebut nama anak untuk cucu adalah panggilan secara majazi (bukan secara hakiki). Bukankah kalau ada orang yang menghapus nama ibu dan anak, maka akan terhapus benar-benar? Inilah bukti yang memisahkan antara majaz dan hakekat. Perbedaan semacam itu juga tampak pada syara’.
ثم إن نكاح الفرق المتقدمة يفضي إلى قطع الرحم فكان النكاح سببًا لقطع الرحم مفضيًا إليه وقطع الرحم حرام. والمفضي إلى الحرام حرام. وهذا المعنى يعم الفرق السبع. لأن قرابتهن محرمة القطع واجبة الوصل.
Menikahi orang-orang yang telah disebutkan di atas akan mengakibatkan terputusnya hubungan silaturrahmi, padahal memutus hubungan itu hukumnya haram. Sesuatu yang mengakibatkan haram adalah haram. Pengertian ini berlaku untuk ketujuh kelompok yang diharamkan diatas, sebab sanak kerabat mereka haram untuk memutuskan hubungan tapi wajib menyambungnya.
ويختص الأمهات آخر وهو أن احترام الأم وتعظيمها واجب ولهذا أمر الولد بمصاحبة الوالدين بالمعروف وخفض الجناح لهما والقول الكريم ونهى عن التأفف لهما فلو جاز النكاح والمرأة تكون تحت أمر الزوج وطاعته وخدمته مستحقة عليها للزمها ذلك. وأنه ينفى الاحترام فيؤدي إلى التناقض وتحل له بنت العمة والخالة وبنت العم والخال.
Khusus bagi diharamkannya ibu mempunyai makna lain, situ bahwa menghormati dan mengagungkan ibu hukumnya wajib. Anak disuruh untuk mempergauli kedua orang tuanya dengan baik, berlaku sopan, berucap dengan ucapan yang mulia, serta dilarang untuk merasa jemu kepada keduanya. Kalau seandainya menikahi ibu diperbolehkan, padahal seorang istri itu harus berada di bawah perintah suami, harus mentaati dan berkhidmat kepadanya, maka penghormatan kepada ibu tadi akan sirna dan akan mendatangkan pertikaian dan pertentangan.
لأن الله تعالى ذكر المحرمات في آية التحريم ثم أخبر سبحانه وتعالى أنه أحلّ ما وراء ذلك. وبنات الأعمام والعمات والأخوال والخالات لم يذكرن في المحرمات فكن مما وراء ذلك بقوله:
Halal mengawini anak perempuan paman atau bibi sebab Allah telah menyebutkan perempuan-perempuan yang diharamkan untuk dinikahi dan setelah itu Dia menghalalkan perempuan-perempuan yang selain tersebut dalam ayat diatas. Anak perempuan paman atau bibi tidak termasuk dalam muharramat yang disebutkan dalam ayat di atas, maka mereka termasuk orang yang tidak disebut dalam ayat:
﴿ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَآءَ ذٰلِكُمْ ﴾١ فكن محللات. وكذا عمومات النكاح لا توجب الفصل. ثم خص منها المحرمات المذكورات في آية التحريم فبقي غير هن تحت العموم. وقد ورد نص خاص في الباب وهو قوله تعالى لنبيه:
Demikian pula keumuman ayat nikah, ia dikhususkan oleh muharramat yang disebutkan dalam ayat tersebut, sehingga yang selain mereka adalah masuk dalam kategori umum yang boleh dinikahi. Lebih-lebih lagi ada nash khusus yang memperbolehkan menikahi anak perempuan paman atau bibi, yaitu firman Allah untuk Rasul-Nya:
﴿ يا ايها النبي إنا أحللنا لك أزواجك ﴾ إلى قوله عزّ وجل : ﴿ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّٰتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَٰلَٰئِكَ الَّتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ ﴾٢
Artinya: “Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa kamu kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan demikian pula anak-anak perempuan dari anak saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu……”. Al-Ahzab: 50.
الآية والأصل أن ما ثبت للنبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يثبت لأمته إلَّا ما قام عليه الخصوص.
Pada prinsipnya apa yang diperbolehkan untuk Nabi diperbolehkan pula untuk ummatnya, kecuali jika ada dalil khusus yang melarang. Maka dari itu dihalalkannya anak perempuan paman atau bibi berlaku bagi ummat Nabi juga.
وأما النوع الثاني: وهو المحرمات بطريق المصاهرة فأربع فرق:
الفرقة الأولى: أم الزوجة وجداتها من قبل أبيها أو أمها وإن علون. فيحرم على الرجل أم زوجته بنص الكتاب وهو قوله: ﴿ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ ﴾۳ سواء أكان دخل بزوجته أو كان لم يدخل بها عند عامة العلماء.
- Muharramat Karena Mushaharah (Hubungan Keluarga Karena Pernikahan).
Di sini ada empat kelompok:
1. Ibu dari istri (mertua).
2. Anak tiri apabila sudah campur dengan ibunya.
3. Istri dari anak (menantu).
4. Istri bapak (ibu tiri), istri embah dari pihak bapak dan seterusnya ke atas.
- Ibu dari istri (mertua)
Haram kawin dengan ibu dari istri (mertua), nenek dari bapak atau ibu istri dan seterusnya ke atas. Laki-laki dilarang kawin dengan ibu dari istri berdasarkan وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ sudah pernah bercampur dengan istri atau belum, menurut kebanyakan ulama.
وقال مالك وداود الأصفهاني ومحمد بن شجاع والبلخي وبشر المرسي رضي الله عنهم: إن أم الزوجة لا تحرم على الزوج بنفس العقد ما لم يدخل بينتها. والمسألة فيها خلاف بین الصحابة رضي الله عنهم. روي عن عمر وعلي وابن عباس وزيد بن ثابت وعمران بن الحصين رضي الله عنهم مثل قول عامة العلماء.
Namun menurut Malik, Daud al-Ashfahani, Muhammad bin Syuja’, al-Balkhi, dan Basyar al-Musa bahwa ibu dari istri tidak haram bagi suami asal belum pernah bercampur. Letak perselisihan antara para ulama itu adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat. Riwayat yang memperkuat pendapat kebanyakan ulama adalah riwayat Umar, Ali, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, dan Imran bin al-Hushain.
وروي عن عبد الله بن مسعود وجابر رضي الله عنهما مثل قولهم. وهو إحدى الروايتين عن علي وزيد بن ثابت. وزيد بن ثابت فصل بين الطلاق والموت. قال في الطلاق مثل قولهما. وفي الموت مثل قول عامة العلماء.
Sedangkan yang memperkuat pendapat Malik dan teman-temannya adalah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud dan Ja’far, yaitu salah satu dua riwayat dari Ali dan Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit membedakan antara perpisahan dengan istri sebab talak dengan sebab mati. Menurut Zaid bin Tsabit, perpisahan sebab talak sesuai dengan pendapat malik dan teman-temannya, sedangkan perpisahan sebab mati sesuai dengan pendapat kebanyakan ulama.
وجعل الموت كالدخول لأنه بمنزلة الدخول في حق المهر وكذا في حق التحريم. وروي عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه عن رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه قال:
Kematian dianggap seperti sudah bercampur karena kematian itu mempunyai kedudukan seperti sudah bercampur dalam hal tentang hak mendapatkan mahar (maskawin) dan hak tahrim. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalla, beliau berkata:
«إِذَا نَكَحَ الرَّجُلُ امْرَأَةُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَلَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ ابْنَتَهَا وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْأُمَّ»
Artinya: “Kalau seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan, kemudian menceraikannya sebelum bercampur, maka dia mempunyai hak untuk kawin dengan anak istrinya dan tidak ada hak (tidak boleh) kawin dengan ibu dari istri (mertua)”.
وهذا نص في المسألتين. وعن عمر بن شعيب عن أبيه عن جده رضي الله عنهم قال: قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Dari Umar bin Syua’ib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata: Rasulullah berkata:
«أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ مَاتَتْ عِنْدَهُ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِنْتَهَا وَأَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ مَاتَتْ عِنْدَهُ فَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ أُمَّهَا»
Artinya: “Siapa saja laki-laki yang menikahi seorang perempuan lantas menceraikannya sebelum bercampur (duhul) atau istri itu mati disisinya, maka tidak apa-apa dia kawin dengan anaknya. Siapa saja laki-laki yang kawin dengan seorang perempuan, kemudian menceraikannya sebelum duhul atau mati di sisinya, maka tidak halal baginya untuk mengawini ibu istrinya”.
وهذا نص في المسألتين.
Hadits-hadits di atas adalah merupakan nash dalam kedua masalah tersebut.
وعن عبد الله بن عباس أنه قال في هذه الآية الكريمة: أبهموا ما أبهم الله: أي أطلقوا ما أطلق الله تعالى. وكذا روي عن عمران بن الحصين أنه قال:
Dari Abdullah bin Abbas, dia berkata tentang ayat yang menerangkan haram kawin dengan ibu dari istri: “Apa yang tidak dijelaskan oleh Allah biarkanlah tidak jelas (mubham) dan apa yang dimullakkan oleh Allah biarkanlah ia mutlak”. Demikian pula riwayat dari Imran bin al-Hushain,dia berkata:
الآية مبهمة: أي مطلقة. وما روي عن ابن مسعود رضي الله عنه فقد روي الرجوع عنه. حيث أفتى بذلك في الكوفة فلما أتى المدينة وذاكر أصحاب رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رجع إلى القول بالحرمة. فقيل له إنها ولدت أولادًا. فقال إنها وإن ولدت. لأن هذا النكاح يفضي إلى قطع الرحم.
Ayat itu mubham, yakni tidak mutlak (tidak dijelaskan apakah setelah atau sebelum duhul)”. Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud adalah riwayat yang berasal dari dia bahwa ketika di Kufah dia memberi fatwa seperti itu (haram kawin dengan ibu istri setelah duhul). Namun setelah kembali ke Madinah dan berkumpul bersama-sama dengan para sahabat Nabi, dia kembali kepada pendapat yang menyatakan haram (kawin dengan ibu istri meskipun belum duhul), entah istrinya itu sudah beranak atau belum, karena pernikahan dengan ibu istri (mertua) akan memutuskan hubungan silaturrahmi.
لأنه إذا طلق بنتها وتزوج بأمها حملها ذلك على الضغينة التي هي سبب القطيعة فيما بينهما. وقطع الرحم حرام. فما أفضى إليه يكون حراما.
Ketika suami menceraikan istrinya lantas kawin dengan bekas ibu mertua, niscaya akan menimbulkan kedengkian pada bekas istri dan akan menimbulkan perpecahan dengan ibunya sendiri. Memutuskan tali silaturrahmi hukumnya haram, maka segala yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan silaturrahmi menjadi haram.
ولهذا المعنى حرم الجمع بين المرأة وبنتها. وبين المرأة وأمها. وبين عمتها وخالتها بخلاف جانب الأم حيث لا تحرم بنتها بنفس العقد على الأم لأن إباحة النكاح هناك لا تؤدّي إلى القطع لأن الأم في ظاهر العادات تؤثر ابنتها على نفسها في الحظوظ والحقوق.
Termasuk dalam pengertian ini adalah diharamkannya mengumpulkan wanita dan anaknya, wanita dan ibunya, bibi dan bibinya untuk dinikahi. Mengawini ibu mertua hukumnya haram meskipun belum bercampur dengan istri. Lain lagi kalau mengawini anak perempuan istri (anak tiri) yang belum bercampur. Mengawini anak perempuan istri asal belum duhul dengan istri, maka tidak diharamkan karena pernikahannya nanti tidak menimbulkan pemutusan hubungan. Hal itu karena biasanya seorang ibu itu berpengaruh terhadap anaknya dalam masalah bagian dan hak.
والبنت لا تؤثر أمها على نفسها ومعلوم ذلك بالعادة. وإذا جاء الدخول ثبتت الحرمة: لأنه تأكدت مودتها لاستيفائها حظها فتلحقها الغضاضة فيؤدي إلى القطع.
Sedangkan anak perempuan tidak berpengaruh terhadap ibunya, seperti yang diketahui melalui kebiasaan. Kawin dengan anak perempuan istri sebelum duhul diperbolehkan tapi kalau sesudah duhul tetap diharamkan. Hal itu karena cintanya telah mendalam sehingga kalau kawin dengan anaknya akan bisa mendatangkan cela yang menimbulkan putus hubungan.
وأما جدات الزوجات من قبل أبيها وأمها عرفت حرمتهن بالإجماع. ثم إنما تحرم الزوجة وجداتها بنفس العقد إذا كان صحيحًا. فأما إذا كان فاسدًا فلا تثبت الحرمة بالعقد بل بالوطء أو ما يقوم مقامه.
Adapun diharamkannya nenek istri dari pihak bapak atau pihak ibu dan seterusnya keatas ditetapkan berdasarkan ijma’ para ulama. Dilarang mengawini istri dan neneknya dalam satu akad meskipun akadnya benar. Kalau akadnya rusak, perkawinan semacam itu juga haram, hanya saja sebab haramnya adalah karena bercampur (duhul).
وتحرم بنت الزوجة وبناتها وبنات بناتها وإن سفلن. أما بنت زوجته فتحرم عليه بنصر الكتاب. إذا كان دخل بزوجته فإن لم يكن دخل بها فلا تحرم لقوله تعالى:
- Anak tiri apabila sudah campur dengan ibunya.
Haram hukumnya kawin dengan anak perempuan istri (anak tiri), anaknya anak perempuan istri (cucu tiri) dan seterusnya ke bawah. Anak perempuan istri diharamkan untuk dinikahi berdasarkan nash Al-Quran apabila suami telah bercampur (duhul) dengan istri, tapi kalau belum bercampur, maka tidak diharamkan. Firman Allah:
﴿ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ﴾١
“Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya”. Al-Nisa’ :23.
وسواء أكانت بنت زوجته في حجره أو لا عند عامة العلماء. وأما بنات بنات الربيبة وبنات أبنائها وإن سفلن فثبتت حرمتهن بالإجماع.
Berdasarkan pendapat kebanyakan ulama, anak perempuan istri baik dalam pemeliharaannya atau tidak boleh dinikahi asal belum bercampur. Adapun pengharaman terhadap anak perempuan dari anak istri dan seterusnya ke bawah, maka diharamkan berdasarkan kesepakatan ijma’.
وأما الفرقة الثالثة: فحليلة الابن من الصلب وابن الابن وابن البنت وإن سفل. فتحرم على الرجل حليلة ابنه من صلبه بالنص وهو قوله عز وجل:
- Haram menikahi istri anak (menantu)
Haram menikahi istri anak (menantu), istri cucu laki-laki atau istri cucu perempuan dan seterusnya ke bawah. Diharamkannya menikahi istri anak berdasarkan firman Allah:
﴿ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ ﴾١
Artinya: “(Dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu”. Al-Nisa’ : 23.
لأن حليلة الابن لو لم تحرم على الإنسان فإذا طلقها الابن ربما يندم على ذلك ويريد العودة إليها. فإذا تزوجها أبوه أورث ذلك الضغينة بينهما. والضغينة تورث القطيعة.
Hal itu karena jika istri anak kandung tidak diharamkan kecuali suami menceraikan istrinya mungkin dia akan menyesal dan ingin kembali kepadanya. Namun ketika bapaknya sendiri mengawini bekas istrinya, akan timbullah kedengkian di antara mereka berdua (bapak dan anak). Kedengkian menyebabkan putusnya hubungan.
وقطع الرحم حرام فيجب أن تحرم حتى لا يؤدي إلى الحرام. ولهذا حرمت منكوحة الابن على الأب لهذا المعنى. سواء أكان دخل بها الابن أو لم يدخل بها لأن النصر مطلق عن شرط الدخول. وحليلة ابن الابن وابن البنت وإن سفل تحرم بالإجماع.
Sedangkan memutus hubungan itu hukumnya haram, maka kawin seperti itu harus diharamkan supaya tidak masuk ke dalam hal yang haram. Makanya menikahi istri anak kandung hukumnya haram, baik anak tersebut sudah bercampur atau belum karena memang nash al-Quran tidak menjelaskan adanya syarat bercampur (nash mutlak). Sedangkan istri dari anaknya anak kandung laki-laki, istri anaknya anak kandung perempuan (anaknya menantu dan seterusnya ke bawah diharamkan berdasarkan kesepakatan ijma’.
والفرقة الرابعة: فمنكوحة الأب وأجداده من قبل أبيه وإن علوا. أما منكوحة الأب فتحرم بالنص وهو قوله تعالى:
- Istri bapak, nenek dari pihak bapak dan seterusnya ke atas.
Istri bapak diharamkan untuk dinikahi berdasarkan nash:
﴿ وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ ءَابآؤُكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ ﴾٢
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau”. Al-Nisa’ : 22.
لأن نكاح منكوحة الأب يفضي إلى قطيعة الرحم. لأنه إذا فارقها أبوه لعله يندم فيريد أن يعيدها. فإن نكحها الابن أو حشه ذلك وأورث الضغينة. وذلك يسبب التباعد بينهما وهو تفسير قطيعة الرحم وقطع الرحم حرام.
Menikahi istri bapak akan mengakibatkan putusnya hubungan silaturrahmi, sebab ketika bapak menceraikan istrinya, barangkali dia menyesal dan ingin kembali. Tapi ketika anaknya sendiri mengawini bekas istrinya akan timbul rasa iri dengki yang mendatangkan saling menjauhi antara keduanya, maka terjadilah pemutusan hubungan silaturrahmi yang hal itu diharamkan.
فكان النكاح سر سبب الحرام وإنه تناقض فيحرم دفعًا للتناقض الذي هو أثر السفه والجهل جلّ الله تعالى عنهما.
Nikah yang demikian merupakan rahasia timbulnya permusuhan, maka nikah semacam itu diharamkan untuk menolak permusuhan yang diakibatkan oleh kedunguan dan kebodohan. Maha suci Allah dari sifat yang demikian.
وأما منكوحة أجداده فتحرم بالإجماع وبما ذكرنا من المعنى لا بعين النص إلَّا على قول من يرى الجمع بين الحقيقة والمجاز في لفظ واحد عند عدم التنافي.
Diharamkannya nenek dari istri bapak dan seterusnya ke atas berdasarkan ijma’ bukan berdasarkan nash, kecuali bagi orang yang ingin menyatukan antara hakekat dan majaz dalam satu lafadh.
وأما النوع الثالث: وهو المحرمات بسبب الرضاعة فكل من حرم القرابة من الفرق السبع الذين وصفهم الله تعالى يحرم بالرضاعة. لأن الله تعالى بيّن المحرمات بالقرابة بيانًا أبلغ وبيّن المحرمات بالرضاعة بيان كفاية. حيث لم يذكر على التصريح والتنصيص إلَّا الأمهات والأخوات بقوله:
- Muharramat Disebabkan Oleh Susuan.
Tujuh kelompok wanita yang haram untuk dinikahi di atas diharamkan karena adanya hubungan susuan. Allah telah menjelaskan tentang wanita-wanita yang diharamkan karena hubungan nasab (kerabat) dengan penjelasan yang tegas. Sementara itu Dia menjelaskan diharamkannya karena hubungan susuan hanya dengan penjelasan sebagian saja, yaitu tidak menyebutkannya dalam al-Quran secara terang-terangan kecuali pada ibu dan saudara perempuan, dengan firman-Nya :
﴿ وَأُمَّهَٰتُكُمُ الَّتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَٰعَةِ ﴾۳
Artinya: “Dan ibu-ibumu yang menyusukan kamu serta saudara-saudara perempuan sepesusuan”. Al-Nisa’ : 23.
ليعلم غير المذكور بطريق الاجتهاد وبالاستدلال. والأصل فيه قوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Apa yang tidak disebutkan itu diketahui melalui jalan ijtihad dan pengam- bilan kesimpulan dalil (istidlal). Pokok nashnya adalah ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
«يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب» وعليه الإجماع أيضا. وكذا كل ما يحرم ممن ذكرنا من الفرق الأربع بالمصاهرة يحرم بالرضاعة. اهـ بتصرف.
Artinya : “Diharamkan dari susuan seperti yang diharamkan dari nasab”. Pernyataan semacam itu merupakan kesepakatan ijma’. Begitu pula diharamkannya empat perempuan akibat mushaharah juga diharamkan karena susuan.