LADUNI.ID, Tasawuf adalah ilmu untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya
Imam Al-Qusyairi berkata dalam Risalah-nya, “Sesungguhnya kalangan ini (sufi) sudah terlalu populer untuk sekedar membutuhkan identitas dari pecahan kata yang diambil dari bahasa.” Artinya, istilah Tasawuf dan identitas Sufi sudah lebih dikenal dan masyhur sehingga tidak membutuhkan definisi lagi. Beliau melanjutkan, “Tasawuf adalah makna (substansi)nya, sedangkan Sufi adalah orang (pelaku)nya. Setiap orang mengungkapkan sesuai dengan apa yang dialaminya. Menyebutkan semuanya satu-persatu hanya akan mengeluarkan kita dari topik pembicaraan sebenarnya, yaitu ringkasan. Saya hanya akan menyinggung beberapa di antaranya saja.” Kemudian beliau menyebutkan riwayat-riwayat yang beliau dapatkan mengenai definisi Tasawuf.
Di antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Abu Muhammad Al-Jariri, “Tasawuf adalah masuk ke dalam budi pekerti yang luhur dan keluar dari perilaku yang tercela.” Ya, Tasawuf tak lain dan tak bukan adalah akhlaqul karimah alias etika atau moral. Semakin tinggi moral seseorang, semakin tinggi pula kadar Tasawufnya. Tentu saja untuk masuk ke dalam akhlak terpuji, seseorang tidak dapat lepas dari agama, karena agama adalah sumber moral. Maka, sangat keliru jika meneriakkan moral tapi di satu sisi mengabaikan agama.
Riwayat kedua, dari Al-Junaid, beliau berkata ketika beliau ditanya tentang Tasawuf, “Dia (Tasawuf) adalah apabila kau dimatikan oleh Al-Haq (Allah SWT) darimu, dan dihidupkan bersama-Nya.” Definisi ini agak dalam maknanya sehingga cukup sulit dicerna. Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud perkataan Al-Junaid bahwa jika Allah telah mematikan segala macam rasa yang ada pada diri seseorang sehingga ia seolah-olah telah mati dan tak merasakan apapun, kemudian ia dihidupkan lagi dan merasa hidup berduaan saja dengan Allah, maka itulah Tasawuf. Kata “darimu” maksudnya adalah dari segala macam keinginan dalam dirimu. Ketika seseorang sudah tidak memiliki keinginan apapun terhadap dunia karena ia telah merasa cukup dengan Allah, maka saat itu ia telah merasakan hakikat Tasawuf.
Definisi lain dikemukakan oleh Al-Husain bin Manshur atau lebih dikenal dengan panggilan Al-Hallaj, beliau berkata ketika ditanya tentang Sufi, “Dia adalah seseorang yang sendirian saja, tidak diterima dan tidak menerima orang lain.” Artinya, dalam hidupnya ia tidak merasakan kehadiran apapun dan siapapun. Syaikh Al-Buthi tampaknya agak kurang setuju dengan makna ini. Beliau menyanggah, “Sebenarnya untuk merasakan kesendirian, seseorang tidak perlu harus menyendiri dalam goa-goa atau tempat terpencil karena manusia adalah makhluk sosial. Justru ketika seseorang mampu bergaul dengan orang lain –dengan tetap menjaga kesendirian hati hanya bersama Allah, itulah yang lebih baik.” Artinya, untuk menjaga kesendirian bersama Allah, seseorang tidak perlu menyendiri secara fisik. Karena kesendirian itu letaknya di hati, bukan di badan. Jadi yang mesti dikosongkan adalah hati, tidak mesti harus memisahkan jasad dari manusia.
Definisi lain dikemukakan oleh Abu Hamzah Al-Baghdadi, beliau berkata, “Ciri-ciri Sufi sejati adalah merasa fakir setelah kaya, merasa hina setelah mulia dan bersembunyi setelah tenar. Sedangkan ciri-ciri Sufi palsu adalah merasa kaya setelah miskin, merasa mulia setelah hina dan mencari popularitas setelah bersembunyi.” Definisi ini juga cukup dalam maknanya. Kalimat “merasa fakir setelah kaya” maksudnya adalah merasa diri tak memiliki apapun. Bagaimana tidak, sedangkan dirinya sendiri adalah milik Tu(h)annya yaitu Allah. Seseorang yang masih merasa bahwa dirinya memiliki sesuatu, maka ia bukan hamba, melainkan orang merdeka. Padahal setiap manusia adalah hamba Allah.
Maka, Sufi sejati adalah orang yang merasa tidak memiliki apa-apa alias fakir setelah sebelumnya ia merasa memiliki sesuatu. Selanjutnya, kalimat “merasa hina setelah mulia” maksudnya adalah tawadhu’ dan merasa rendah diri di hadapan makhluk, lebih lagi di hadapan Sang Khalik. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tak lebih dari segumpal darah dan daging yang berasal dari setetes air yang hina dan akan kembali menjadi tanah, maka ia telah menjadi seorang Sufi sejati. Kemudian, kalimat “bersembunyi setelah tenar” maksudnya adalah menenggelamkan diri dalam ketiadaan dari pandangan makhluk sehingga ia hanya bersama Allah saja. Hal ini sangat penting untuk menjaga keikhlasan. Itulah ciri-ciri Sufi sejati. Sedangkan Sufi palsu adalah orang yang melakukan sebaliknya, merasa kaya dan tidak membutuhkan Allah lagi setelah ia mengakui kefakirannya, merasa mulia setelah ia mengakui kehinaannya dan mencari popularitas di mata manusia setelah sebelumnya ia adalah orang tak dikenal.
Sumber: Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah