LADUNI.ID, Asy-Syibli berkata, “Tasawuf adalah kilat yang menyala.” Maksudnya adalah kondisi batin yang berubah-rubah dengan sangat cepat sehingga menyerupai kilat. Kadangkala kondisi roja’ (harap) menguasai seorang sufi sehingga ia teringat akan rahmat Allah SWT yang sangat luas, lalu ia pun senang. Di saat seperti itu, tiba-tiba kondisi batinnya berubah menjadi khouf (takut) yang sangat dahsyat sehingga ia teringat akan siksa Allah SWT yang amat pedih, sehingga ia pun gemetar. Kondisi itu berubah-rubah dengan sangat cepat sehingga menyerupai kilat yang menyala.
Asy-Syibli juga berkata, “Tasawuf adalah terlindung dari memandang makhluk.” Maksudnya, Allah SWT melindungi penglihatan anda dari memandang makhluk. Ketika anda melihat alam dengan segala macam warna-warninya, langit biru, bumi yang terbentang luas, pepohonan yang rindang, sungai yang mengalir, awan yang berarak, maka anda hanya akan melihat Sang Pencipta jagad raya Yang Maha Besar itu, yaitu Allah SWT. Anda sama sekali tidak melihat makhluk-makhluk itu. Yang ada di pandangan anda hanyalah Dzat yang menciptakan semua itu, yaitu Allah SWT. Lalu bibir anda pun melantunkan kalimat-kalimat pujian yang indah, “Subhanallah. Maha Suci Allah.”
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191)
Seorang sufi berjalan di atas muka bumi, berjual-beli dengan manusia di pasar, bercocok tanam di sawah, namun ia tak melihat apa-apa selain Allah SWT. Matanya melihat dunia, namun hatinya melihat Allah SWT yang menciptakan dunia itu. Inilah yang dinamakan dengan Wihdatu Al-Syuhud, yaitu tunggalnya penglihatan. Seorang sufi mengakui adanya wujud selain Allah SWT, yaitu makhluk-makhluk seperti bumi, langit, gunung, manusia, air, batu dan lain-lain, namun ia tidak melihatnya. Yang ia lihat hanyalah Allah SWT.
Berbeda dengan Wihdatu Al-Wujud (tunggalnya wujud) yang menafikan segala wujud selain Allah SWT. Ini berarti menafikan adanya malaikat, nabi, kitab suci dan lain-lain. Jelas ini bukan ajaran Islam. Sedangkan yang pertama tadi merupakan inti ajaran Islam.
Ruwaym berkata, “Para Sufi akan tetap berada dalam kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain. Tapi setelah mereka berdamai, maka tak ada lagi kebaikan pada mereka.” Maksud bertengkar di sini adalah saling mengingatkan satu sama lain ketika sedang lalai, seolah-olah tidak ada kompromi di antara mereka. Dalam kondisi seperti itu, mereka berada dalam kebaikan. Namun ketika mereka sudah mulai berbasa-basi dan melupakan nasehat, maka saat itulah kebaikan itu pergi. Rasulullah SAW bersabda, “Agama itu adalah nasehat.”
Al Jurairy mengatakan, “Tasawuf adalah memantau setiap kondisi dan berpegang pada adab.” Maksudnya memantau kondisi batin agar senantiasa selaras dengan syariat.
Khouf dan roja’ adalah dua sikap yang harus seimbang pada diri setiap mukmin, ibarat dua sayap yang tidak boleh pincang salah satunya. Khouf yang berlebihan akan menyebabkan seseorang mengalami Al-Ya’s (keputusasaan), sehingga ia terputus dari rahmat Allah SWT. Kita mungkin pernah mendengar seseorang mengatakan, “Sudahlah, Allah tidak akan mungkin mengampuni dosa-dosa saya yang terlampau banyak.” Sebaliknya, rasa roja’ yang berlebihan juga dapat menyebabkan seseorang tidak sopan terhadap Allah SWT. Orang seperti ini akan mengatakan, “Sudahlah, tidak apa-apa berbuat dosa sebanyak-banyaknya. Allah Maha Luas ampunan-Nya. Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Allah Maha Mengampuni Dosa dan Maha Menerima taubat. Dia tidak akan menyiksa hamba-Nya.” Jadi, harus keduanya seimbang. Nah, seorang sufi selalu mengawasi kondisi dirinya sendiri di setiap waktu agar tidak terjadi kepincangan.
Sedangkan makna “berpegang pada adab” adalah berpegang teguh pada syariat. Adab takkan mungkin tegak tanpa syariat, karena adab berdiri di atas syariat. Sufi adalah orang yang paling taat menjalankan syariat, karena tak mungkin ia dapat menjadi seorang sufi tanpa melewati fase syariat. Seseorang yang mengaku sufi namun syariatnya masih terbengkalai bukanlah sufi sebenarnya.
Al-Muzayyin menegaskan, “Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.” Maksudnya adalah kepasrahan kepada Allah SWT dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Abu Turab an-Nakhsyaby menyatakan, “Seorang Sufi tidak dapat dikotori oleh sesuatu pun, bahkan segala sesuatu menjadi jernih karenanya.” Ketika seorang sufi dicela, dihina dan dicacimaki, ia tidak bergeming, bahkan mengatakan, “Saya lebih buruk daripada yang anda tuduhkan itu.” Ketika ia dipuji, disanjung dan dimuliakan, ia pun tak bergeming dan mengatakan, “Diamlah, saya tidak seperti yang anda sangka itu. Saya lebih tahu diri saya sendiri daripada anda. Anda hanya melihat penampilan luar saya. Adapun dalamnya, hanya saya dan Allah saja yang tahu.”
Suatu hari, seorang ustadz bersama para muridnya sedang berjalan. Tiba-tiba mereka tertimpa kotoran dari atas mereka. Siapa yang melemparkan, sengaja atau tidak, tak seorang pun yang tahu. Sebelum para murid mulai berbicara, sang ustadz memulainya terlebih dahulu, “Tahukah kalian bahwa kita masih lebih buruk daripada kotoran ini.”
Di tempat lain, dua orang sedang bersengketa mengenai suatu permasalahan. Lalu datanglah seorang sufi menengahi mereka. Tak lama kemudian, masing-masing di antara dua orang yang bersengketa itu berhenti bersengketa dan tidak mau menuntut lawannya.
Demikianlah, semestinya setiap muslim menjadi sosok yang jernih dan menjernihkan. Kehadirannya di komunitas apapun seharusnya dapat memberikan kontribusi positif dan konstruktif. Pujian maupun celaan tak dapat mengotori hatinya.
Allah SWT berfirman:
“…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)
Sumber: Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah