LADUNI.ID, Secara tinjauan literal semantik, istilah sufisme (tashawwuf) disinyalir berasal dari derivasi kata Arab ash-shofa’ yang berarti bening atau jernih sebagai simbol langkah mistikus yang menempuh jalan penyucian nurani. Nabi saw. bersabda ; “Kejernihan dunia telah sirna dan tinggallah kekeruhannya, maka hari ini, kematian adalah penghargaan bagi setiap Muslim”. (HR. Ad-Dâruquthny).
Atau berasal dari ash-shuffah yang dinisbatkan pada Ahli Shuffah (serambi), yaitu sekitar 400 sahabat Muhâjirîn yang fakir dan tidak memiliki tempat tinggal dan sanak keluarga di masa Nabi yang menentap dan beribadah di masjid Nabi, Madinah. Atau berasal dari ash-shaff (barisan) yang seolah hati mereka berada di barisan terdepan dalam kehadiran di hadapan Allah. Namun pendekatan isytiqâqy (derivasi) ash-shûfiy (sufi) pada ketiga kata tersebut, menurut aL-Qusyairy dinilai tidak tepat secara teori analogi harfiah. Sebab jika dari ash-shofa’ sangat jauh bentuk subjek (fa’il)-nya menjadi ash-shufiy, jika dari ash-shuffah maka menjadi ash-shafwiy, dan jika dari ash-shaff (barisan) —meskipun memiliki kebenaran secara makna, namun— kata ash-shufiy bukanlah bentuk subjeknya. Bahkan menurutnya, sufisme juga tidak berasal dari akar kata ash-shauf (wol), sebab pakaian tersebut bukan performance asli kaum sufi. Jadi menurut aL-Qusyairy, sebutan ash-shufiy diberikan lebih hanya sebagai gelar (laqab). Namun menurut Ibn Khaldun, kendati ash-shauf bukan pakaian khusus para mistikus, namun karena keidentikan tradisi mereka yang menggunakan pakaian dari wol sebagai ekspresi kezuhudannya, istilah tashawwuf lebih dekat berasal dari akar kata ash-shauf. Meski demikian, acuan paling mendasar etimologis sufisme, sebenarnya lebih berasal dari sikap mistikus yang secara total berusaha memadamkan hasrat duniawi dari kehidupannya dengan menenggelamkan seluruh himmahnya dalam samudera ukhrowi. Lantaran itulah kaum mistikus cukup dikenal dengan sebutan ash-shufiy dan tidak perlu mencari analogi atau turunan akar kata untuk sebutan mereka.
Istilah-istilah yang menjadi termenologi dalam Tasawuf, juga tidak pernah terekam, secara akademis dalam sejarah periode Islam awal. Bahkan di zaman Nabi kata sufi, kata Syari”at Hakikat ataupun Thariqat, tidak di munculkan sebagai istilah tersendiri dalam prakyek keagamaan. Semata, karena para sahabat dan Tabi”I, adalah sekaligus para pelaku Syari”at, Thariqat dan Hakikat, dalam kesehariannya. Hanya satu setengah abad kemudian, istilah-istilah itu muncul dengan termenologi tersendiri, dalam kerangka memudahkan praktek ke Islaman yang sebenarnya.
Untuk melihat sejarah Tasawuf, definisi seputar Tasawuf dari para pelaku serta tokoh-tokohnya sangat membantu alur hitoris itu hingga dewasa ini. Pada zaman Nabi saw, kita mengenal istilah yang sangat komprehensif mengenai dunia esoteris, yang disebut dengan Al-Ihsan. Dalam riwayat Al- Bukhari, disebut oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya: “hendaknya engkau manyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, maka apabila engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R.Bukhari).
Istilah Al-Ihsan tersebut, dalam prakteknya, memunculkan tradisi agung dalam Islam, yaitu amaliyah batin yang kekal membangun suatu akademi esoteris yang luar biasa. “Seakan-akan melihat Allah dan Allah melihatnya,” adalah puncak dari prestasi moral seorang hamba Allah disaat sang hamba berhubunga denganNya. Proses-proses berhubungan itulah yang kemudian diatur dalam praktek Tasawuf. Karena dalam setiap tradisi Thariqat Tasawuf yang mempunyai sanad sampai kepada Rasulullah saw, kelak disebut dengan Thariqat Mu’tabarah- menunjukkan bahwa tradisi sufistik sudah berlangsung sejak zaman Rasulullh saw. Hanya saja tradisi tersebut tidak terpublikasi secara massif mengingat dunia esoteris adalah dunia spesifik, dimana tidak semua khayalak menerimanya. Doktrin-doktrin Dzikir dan pelaksanaannya yang dilakukan melalui baiat pada Rasulullah saw, menggambarkan hubungan-hubunga psikhologis antara Rasul saw, ketika itu dengan sahabat dan Allah swt.
Di lain pihak, tradisi akademi Taswuf nantinya melahirkan produk-produk penafsiran esoteric atau metafisik, terhadap hasanah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Selain Al-Qur’an secara khusus punya penekanan terhadap soal-soal Tasawuf, ternyata seluruh kandungan Al-Qur’an juga mengandung dimensi batin yang sangat unik. Jadi tidak ada alasan sama sekali untuk menolak Tasawuf, hanya karena beralasan bahwa Tasawuf tidak ada dalam Al-Qur’an. Padahal seluruh kandungan Al-Qur’an tersebut mengandung dua hal : Dzahir dan batin , syari’at dan hakikat.
Banyak sekali definisi tasawuf yang telah dikemukakan, dan masing-masing berusaha menggambarkan apa yang dimaksud dengan tasawuf. Tetapi pada umumnya definisi yang dikemukakan hanya menyentuh sebagian dari keseluruhan bangunan tasawuf yang begitu besar dan luas.
Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya mengutip 50 definisi dari ulama Salaf; sementara Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani dalam “Ensiklopedia Orang-Orang Suci”-nya Hikayat al-awliya’ mengutip sekitar 141 definisi, antara lain:
“Tasawuf adalah bersungguh-sungguh melakukan suluk yaitu perjalanan’ menuju malik al muluk `Raja semua raja’ (Allah `azza wa jalla).”
“Tasawuf adalah mencari wasilah ‘alat yang menyampaikan’ ke puncak fadhilah ‘keutamaan’.”
Definisi paling panjang yang dikutip Abu Nu’aim berasal dari perkataan Imam al-Junaid ra. ketika ditanya orang mengenai makna tasawuf:
“Tasawuf adalah sebuah istilah yang menghimpun sepuluh makna:
- 1. tidak terikat dengan semua yang ada di dunia sehingga tidak berlomba- lomba mengerjarnya.
- 2. Selalu bersandar kepada Allah `azza wa jalla,.
- 3. Gemar melakukan ibadah ketika sehat.
- 4. Sabar kehilangan dunia (harta).
- 5. Cermat dan berhati-hati membedakan yang hak dan yang batil.
- 6. Sibuk dengan Allah dan tidak sibuk dengan yang lain.
- 7. Melazimkan dzikir khafi (dzikir hati).
- 8. Merealisasikan rasa ikhlas ketika muncul godaan.
- 9. Tetap yakin ketika muncul keraguan dan
- 10. Teguh kepada Allah dalam semua keadaan. Jika semua ini berhimpun dalam diri seseorang, maka ia layak menyandang istilah ini; dan jika tidak, maka ia adalah pendusta.
Beberapa fuqaha ‘ahli fikih’ juga mengemukakan definisi tasawuf dan mengakui keabsahan tasawuf sebagai ilmu kerohanian Islam. Di antara mereka adalah: Imam Muhammad ibn Ahmad ibn Jazi al-Kalabi al-Gharnathi (w. 741 H.) dalam kitabnya al Qawanin al Fiqhiyyah li Ibn Jazi hal. 277 menegaskan:
“Tasawuf masuk dalam jalur fiqih, karena ia pada hakikatnya adalah fiqih batin (rohani), sebagaimana fiqih itu sendiri adalah hukum-hukum yang berkenaan dengan perilaku lahir.”
Imam `Abd al-Hamid al-Syarwani, dalam kitabnya Hawasyi al-Syarwani juz VII, menyatakan: “Ilmu batin (kerohanian), yaitu ilmu yang mengkaji hal ihwal batin (rohani), yakni yang mengkaji perilaku jiwa yang buruk dan yang baik (terpuji),itulah ilmu tasawuf.”
Al-Husayn bin Mansur al-Hallaj : “Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat”.
Abu Hamzah al-Baghdady : “Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin , menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersembunyi”.
Amr bin Utsman al-Makky :
“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik sa’at itu”. Muhammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlaq mulia, dari orang yang mulia di tenga-tengah kaum yang mulia”. Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apapun, tidak pula dimiliki apapun”.
Ruwaim bin Ahmad :
“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allahdalam setiap keada’an apapun yang dikehendakiNya”.
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinandan kefekiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi,dengan medahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sifat kontra, dan memilih “. Ma’ruf Al-karky:
“Tasawuf artinya , memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.
Hamdun al-Qashshar : “Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk mema’afkan perbuatan-perbuatan yang tak baik,dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baikpun bukan suatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu”.
Al-Kharraz : “Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapanganjiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan sega-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislahkalian karena kami”.
Sahl bin Abdullah : “Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis”.
Ahmad An-Nuury : “Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak punya,dan peduli orang lain ketika ada”.
Muhammad bin Ali Kattany: “Tasawuf adalah akhlak yang baik, barang siapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf”.
Ahmad bin Muhammad ar- Rudzbary :
“Tasawuf adalah tinggal dipintu Sang Kekasih, sekalipun engkau diusir”.
“ “Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya setelah berjauhan denganNya”.
Abu bakr asy-syibly:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt,tanpa hasrat”.
“Sufi terpisah dari manusia, dan bersambung dengan Allah swt. Sebagaiana difirmankan Allah swt, kepada Musa, “Dan aku telah memilihmu untuk DiriKu” (Thoha: 41) dan memisahkannya dari yang lain. Kemudian Allah swt ,berfirman kepadanya , “Engkau tak akan bias melihatKu”.
“ Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan TuhanYang Haq”.
“Tasawuf adalah kilat yang menyala, dan Tasawuf terlindung dari memandang mahluq “.
“ Sufi disebut sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukandemiian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka”.
Al-Jurairy : “Tasawuf berarti kesadaran atas diri sendiri dan berpegang pada adab”.
Al-Muzayyin : “ Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-haq”.
As-kar an-Nakhsyaby : “ Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apapun, tetapi menyucikan segalanya”.
Dzun Nuun Al-Mishry : “ Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada”.
Muhammad Al-Wasithy : “ Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi geraan-garakan,dan sekarang tak ada sesuatu yang tinggal selain kesedihan”.
Abu Nash as-Sarrajath-Thusy : “ Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu ?” Lalu ia menjawab, “Yang tidak dibawa di bumi dan tidak dinaungi langit”. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada kelaburan”.
Ahmad ibnul Jalla : “ Kita tidak mengenal mereka melalui persyaratan ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt tanpa terikat pada suatu tempat, tetapi Allah swt tidak menghakangi dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi”.
Abu Ya’qub al-Madzabily : “ Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus”.
Abu Hasan as-Sirwany : “ Sufi yang bersama ilham,bukan dengan wirid yang menyertainya”.
Abu Ali Ad-Daqqaq:
“ yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang”.
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkan pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekorpun yang menaruh perhatian padanya”.
Abu Sahl ash-sha’luky : “Tasawuf adalah berpaling dari sifkap menentang ketetapan Allah”.
Imam Muhammad `Amim al-Ihsan dalam kitabnya Qawa’id al-Fiqih, dengan mengutip pendapat Imam al-Ghazali, menyatakan : “Tasawuf terdiri atas dua hal: Bergaul dengan Allah secara benar dan bergaul dengan manusia secara baik. Setiap orang yang benar bergaul dengan Allah dan baik bergaul dengan mahluk, maka ia adalah sufi.”
Definisi-definisi tersebut pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain, membentuk satu kesatuan yang tersimpul dalam satu ikatan: “Tasawuf adalah perjalanan menuju Tuhan melalui penyucian jiwa yang dilakukan dengan intensifikasi dzikrullah“.
Penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) merupakan ruh dari takwa, sementara takwa merupakan sebaik-baik bekal (dalam perjalanan menuju Allah), sehingga dikatakan oleh Imam Muhammad Zaki Ibrahim, pemimpin tarikat sufi Al-Asyirah Al-Muhammadiyyah di Mesir, bahwa “tasawuf adalah takwa. Takwa tidak hanya berarti “mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Takwa juga meliputi “cinta, ikhlas, sabar, zuhud, qana’ah, tawadhu’, dan perilaku-perilaku batin lainnya yang masuk ke dalam kategori makarim al-akhlaq (alkhlak yang mulia) atau al-akhlaq al-mahmudah (akhlak yang terpuji)”.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tasawuf juga sering didefinisikan sebagai akhlak, yaitu akhlak bergaul dengan Allah dan akhlak bergaul dengan semua makhluk-Nya. Imam Muhammad ibn `Ali al-Kattani, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya, menegaskan bahwa “tasawuf adalah akhlak“. Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani juga mengutip definisi senada dalam Hilyat al-Awliya-nya:
“Tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak (orang-orang ) mulia.”
Definisi terakhir di atas sejalan dengan keberadaan Nabi SAW yang diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana ditegaskan oleh beliau sendiri dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” Para perawi hadis ini adalah para perawi sahih (rijal al-shahih). (Majma’ al-Zawaid, juz VIII hal.188).
Akhlak itu sendiri merupakan perilaku batin yang melahirkan berbagai perbuatan secara otomatis tanpa melalui pertimbangan yang disengaja, atau dalam definisi Imam al-Ghazali diungkapkan dengan redaksi: “Akhlak merupakan ungkapan tentang kondisi yang berakar kuat dalam jiwa; dari kondisi itu lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikirkan dan pertimbangan.”
Apa pun definisi yang dikemukakan para ulama mengenai tasawuf, satu hal pasti adalah bahwa tasawuf merupakan sisi rohani Islam yang sangat fundamental dan esensial; bahkan ia merupakan inti ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
Pernyataan Imam Muhammad Zaki Ibrahim barangkali sudah cukup sebagai penjelasan terakhir: “Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi tasawuf, semua definisi yang ada mengarah kepada satu titik yang sama, yaitu taqwa dan tazkiyah. Tasawuf adalah hijrah menuju Allah SWT, dan pada hakikatnya semua definisi yang ada bersifat saling melengkapi.” (Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islami, atau Tasawuf Salafi, hal 7)
Tidak satu definisi-pun yang mampu menggambarkan secara utuh apa yang disebut dengan tasawuf. Demikian pula, tidak ada satu penjelasan pun yang mampu menggambarkan apa yang disebut denga ihsan ‘beribadah seolah-olah melihat Allah’, karena hal itu menyangkut soal “rasa dan pengalaman” bukan “penalaran atau pemikiran”. Pemahaman yang utuh mengenai tasawuf dan sekaligus ihsan hanya muncul setelah seseorang “mengalami” dan tidak sekadar “membaca” definisi-definisi yang dikemukakan orang.
Sumber: Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah