LADUNI.ID, Dikatakan, “Pencarian tidaklah meletihkan sang Sufi, dan hal-hal duniawi tidaklah mengganggunya.” Maksudnya, bagi seorang sufi, usaha dalam melakukan ketaatan bukanlah sebuah beban. Sebaliknya, ia merupakan sebuah kebutuhan, sehingga usaha tersebut tidak membuatnya merasa lelah. Di samping itu, usaha-usaha itu tidaklah mengganggunya dalam mempertahankan tawakkal. Seorang sufi berusaha tanpa kenal lelah seolah-olah usahanya itulah satu-satunya yang dapat menyelamatkannya dari api neraka dan memasukkannya ke dalam surga. Namun di saat yang sama, ia bertawakkal, pasrah dan menyerahkan segala sesuatu kepada Allah SWT seolah-olah usahanya tersebut tidaklah berarti apa-apa.
Ketika Dzun Nuun Al-Mishry ditanya tentang orang-orang Sufi, dia menjawab, “Mereka adalah kaum yang mengutamakan Allah SWT di atas segala-galanya sehingga Allah mengutamakan mereka di atas segala-galanya.” Maksudnya, orang-orang sufi mampu menekan hawa nafsu mereka demi menjalankan ketaatan terhadap Allah, sehingga Allah pun meridhoi mereka. Seorang sufi tahu bahwa bangun di malam hari di musim dingin untuk shalat tahajjud merupakan sebuah amalan yang berat. Namun ia tahu bahwa amalan itu disukai Allah, maka ia pun menjalaninya dei mendapatkan cinta-Nya. Seorang sufi tahu bahwa berpuasa di siang hari pada musim panas merupakan pekerjaan berat yang tidak disukai semua orang. Namun karena ia tahu bahwa amalan itu disukai Allah, maka ia pun melaksanakannya. Semua itu demi cinta-Nya. Seorang sufi selalu mengutamakan Allah di atas segala-galanya. Kerelaan Allah merupakan impiannya. Kemurkaan Allah merupakan musibah besar yang harus dihindari dan patut disesalkan.
Oleh karena itu, Allah pun mengutamakan mereka di atas segala sesuatu. Kedekatan mereka terhadap Allah telah menghilangkan jarak antara mereka dengan Allah. Keridhoan mereka adalah keridhoan Allah. Begitu juga kemurkaan mereka merupakan kemurkaan Allah juga.
Allah SWT berfirman:
“…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Maidah: 54)
Rasulullah SAW bersabda:
“Alloh berfirman, “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menggenggam, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta pasti Aku beri, jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku lindungi.” (HR. Bukhari)
Muhammad al-Wasithy mengatakan, “Dahulu mereka memiliki isyarat, kemudian lama-kelamaan menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.” Ini merupakan sebuah ungkapan hati dari seorang sufi yang prihatin melihat kondisi manusia yang semakin hari semakin memburuk. Dahulu pada masa sahabat, ketakwaan merupakan hiasan mereka, sehingga mendapatkan pujian dari Allah dan Rasul-Nya. Kesalihan mereka mampu mendatangkan karomah-karomah yang tak dimiliki oleh sembarang orang. Inilah yang dimaksud dengan “isyarat“. Kemudian ketika zaman bergeser ke tabiin, spirit itu pun berkurang sedikit demi sedikit. Begitu juga ketika masa tabiut tabiin dan seterusnya hingga sekarang.
Nilai-nilai tasawuf yang dahulu merupakan substansi dinul Islam yang melekat dan mendarahdaging dalam diri para salafus sholih, lama-kelamaan berubah menjadi rutinitas dan ritualitas tanpa ruh. Itulah yang dimaksud dengan “gerakan-gerakan”, yaitu formalitas tanpa esensi. Tasawuf menjadi sebuah profesi yang digunakan untuk mengeruk popularitas dan mencari keuntungan-keuntungan duniawi lainnya.
Namun kondisi itu juga akhirnya lenyap sama sekali sehingga tak tersisa sedikit pun. Nilai-nilai Islam yang dahulu menjadi motor penggerak pada diri setiap muslim, kini hanya menjadi cerita-cerita dan kisah-kisah yang tertulis di buku-buku. Sejarah telah menjadi bukti bahwa umat ini telah mengalami degradasi kualitas.
An-Nury ditanya tentang Sufi, dan dia menjawab, “Sufi adalah manusia yang menyimak pendengaran dan yang mengutamakan sebab-sebab.” Maksudnya, seorang sufi selalu menyimak nasihat-nasihat, baik dari Al-Quran, hadis, syair maupun yang lainnya, kemudian mereka berkomitmen terhadap hal-hal yang dapat menyampaikan mereka kepada keridhoan Allah. Hal-hal itulah yang dimaksud “sebab-sebab”.
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thausy berkata, “Aku bertanya kepada All al-Hushry `Siapakah, menurutmu, Sufi itu?’ Dia menjawab, `Yang tidak dibawa bumi dan tidak dinaungi langit.’ Dengan ucapannya, menurut saya, ini Al-Hushry merujuk kepada nuansa keleburan.”
Sumber: Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah