Semua transaksi jual emas dan perak dan transaksi jual beli bahan makanan, apa pun jenisnya, merupakan transaksi barang ribawi. Baik jual beli bahan makanan pokok, seperti beras, jagung, ketela pohon, maupun barang konsumsi tambahan/pelengkap, seperti buah-buahan, susu, daging ikan dan lain sebagainya, bahkan air dan krupuk, hukum riba dapat berlaku kepadanya.
Hal ini berbeda bila materi bahan jual belinya adalah berupa bahan bangunan, seperti semen, paku, dan lain-lain. Mengapa hanya dua emas dan perak serta bahan makanan yang masuk kategori barang ribawi? Tidak lain adalah disebabkan karena keberadaan emas dan perak saat itu menjadi alat transaksi untuk semua barang. Sebagai alat transaksi, maka ia menjadi alat ukur dan menjadi neraca nilai bagi barang.
Posisi emas dan perak saat ini digantikan dengan uang tunai. Oleh karena itu, transaksi mata uang dalam kurs, sejatinya juga masuk kategori transaksi ribawi disebabkan peran pengganti emas dan perak tersebut. Seandainya suatu saat ada alat transaksi lain yang menggantikan peran uang emas dan perak, atau mata uang, misalnya dalam bentuk mata uang virtual, bitcoin atau sejenisnya, maka ia juga bisa digolongkan sebagai transaksi barang ribawi karena peran yang dimilikinya sebagai alat tukar dan alat ukur nilai barang. Dan sebagai alat transaksi barang ribawi, maka ia bisa terkenal pasal riba apabila tidak memperhatikan berbagai pedoman yang sudah diatur oleh syara’. Semua macam transaksi riba, hukumnya adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’. Dengan demikian, penting kiranya kita mengenali transaksi riba dalam jual beli.
Dalam praktik jual beli, ada tiga praktik transaksi riba yang terkenal, yaitu riba al-fadl, riba al-yad dan riba al-nasa’. Karena butuh ruang khusus untuk membahas riba al-nasa’ (riba yang terjadi akibat jual beli tempo), dalam kesempatan ini hanya akan dijelaskan dua riba jual beli, yaitu riba al-fadl dan riba al-yad.
Pertama, riba al-fadl, yaitu: transaksi jual beli harta ribawi (emas, perak dan bahan makanan) yang disertai dengan sesama jenisnya, dan disertai adanya melebihkan di salah satu barang yang dipertukarkan. Karena adanya unsur melebihkan (fudlul) ini maka riba ini diberi nama sebagai riba al-fadl (riba kelebihan).
Suatu misal Bu Eko memiliki beras bagus seberat 1 kilogram. Bu Hasan memiliki beras jelek seberat 2 kilogram. Bu Eko bermaksud memiliki beras kualitas jelek milik Bu Hasan tersebut untuk campuran pakan ternaknya. Sementara itu Bu Hasan membutuhkan beras bagus untuk konsumsi keluarganya. Akhirnya, terjadilah transaksi keduanya untuk saling menukarkan beras tersebut. Bu Eko membawa beras bagus seberat 1 kilogram dan Bu Hasan membawa beras kualitas buruk seberat 2 kilogram. Transaksi terjadi dengan penukaran beras 1 kg ditukar dengan beras 2 kg.
Transaksi sebagaimana dimaksud dalam contoh ini adalah termasuk transaksi riba, disebabkan ada kelebihan timbangan dari beras miliknya Bu Hasan, dengan selisih 1 kilogram. Pasal yang dilanggar dalam hal ini adalah karena ketiadaan sama timbangannya, sebagaimana syarat sah transaksi barang ribawi, yaitu harus kontan, saling menyerahkan, dan sama timbangannya.
Sebagai solusinya, agar terhindar dari transaksi riba, yaitu seharusnya Bu Eko membeli beras yang dimiliki Bu Hasan dengan tunai. Demikian pula, Bu Hasan membeli berasnya Bu Eko dengan tunai. Selanjutnya, dari uang yang diterima, dibelikan beras yang dikehendaki oleh masing-masing. Uang Bu Eko dibelikan beras milik Bu Hasan. Demikian pula, uang yang didapat Bu Hasan dibelikan beras milik Bu Eko.
Kedua, transaksi riba al-yad, yaitu riba yang terjadi akibat jual beli barang ribawi (emas, perak dan bahan makanan) yang disertai penundaan serah terima kedua barang yang ditukarkan, atau penundaan terhadap penerimaan salah satunya. Karena ada unsur penundaan inilah, maka riba ini disebut sebagai riba al-yad (riba kontan).
Demikian logikanya: Emas, perak dan bahan makanan merupakan bahan yang cenderung mengalami perubahan (fluktuasi) harga. Harga emas saat ini bisa jadi berbeda dengan harga emas untuk esok hari. Harga cabe hari ini juga memungkinkan berbeda dengan harga cabe esok hari. Karena kondisi inilah, maka diperlukan syarat mutlak “penetapan harga” yang disepakati oleh kedua belah pihak apabila terjadi transaksi barang ribawi.
Ambil contoh, misalnya transaksi jual beli barang ribawi antara Pak Ahmad (pedagang jagung) dengan Pak Hasan (pedagang beras). Pak Ahmad hendak membeli beras milik Pak Hasan dengan standart 1 kg beras untuk 4 kg jagung. Standart ini dibangun, karena kebetulan harga beras saat itu adalah 10 ribu rupiah per kilogram. Sementara jagung memiliki harga 2.500 rupiah per kilogram. Keduanya sudah sama-sama sepakat. Setelah Pak Ahmad menerima beras milik Pak Ahmad, ternyata Pak Ahmad tidak segera menyerahkan jagung yang dimilikinya kepada Pak Hasan di majelis akad dan saat itu juga. Transaksi inilah yang disebut sebagai riba al-yad disebabkan ada kemungkinan harga 1 kg beras di kemudian hari berbeda dengan harga 4 kg jagung. Bahkan adakalanya harga 1 kg beras sama dengan harga 5 kg jagung.
Muncul pertanyaan, bagaimana caranya akad transaksi tukar-menukar barang seperti di atas agar hukumnya tetap boleh?
Ada beberapa solusi yang ditawarkan dalam kesempatan ini, antara lain:
1. Harus ada ketetapan harga barang untuk masing-masing pihak yang berakad. Misalnya: harga beras dihitung 10 ribu rupiah per kilogram dan harga jagung dihitung 2.500 rupiah per kilogram.
2. Setelah ditetapkan harga masing-masing barang, selanjutnya Pak Ahmad membeli beras milik Pak Hasan dengan standart harga yang ditetapkan tersebut. Misalnya, 1 juta rupiah untuk 1 kuintal beras. Demikian juga dengan Pak Hasan, membeli jagung milik Pak Ahmad dengan ketetapan harga yang sudah disepakati, yaitu 1 juta rupiah untuk 4 kuintal jagung.
3. Dalam kondisi sudah ada ketetapan harga sebagaimana dimaksud di atas, maka boleh dilakukan penundaan penyerahan barang salah satu yang hendak dipertukarkan oleh masing-masing pihak disebabkan ada nilai uang yang menjembatani di antara keduanya.
4. Bila terjadi penundaan penyerahan barang, maka pada dasarnya salah satu pihak yang bertransaksi adalah sama dengan sedang hutang uang, dan bukan hutang komoditas. Oleh karena itu pendapat yang melemahkan akan kebolehan dari transaksi ini adalah unsur taqabudl-nya, yaitu saling menerima barang saat transaksi di majelis transaksi.
5. Bila ternyata harga beras atau harga jagung di satu bulan kemudian mengalami kenaikan, maka akad dikembalikan pada asalnya, yaitu bahwa pada dasarnya akad tersebut bukan akad jual beli. Keberadaan uang yang menjadi alat ukur nilai komoditas berubah haluan menjadi uang yang dihutang. Dengan demikian, pihak yang menunda dihukumi sebagai pihak yang berhutang uang sebesar 1 juta rupiah, dan bukan hutang komoditas beras seberat 1 kuintal atau hutang jagung seberat 4 kuintal.
6. Karena adanya unsur taqabudl yang melemahkan kekuatan dari pendapat ini, maka diperlukan unsur saling ridha/saling menyadari di antara kedua pihak yang saling berakad, bahwa akad terjadi dengan standart uang sehingga yang wajib dikembalikan adalah dalam bentuk uang.
Lemahnya pendapat ini, kadang disebabkan timbul rasa tidak enak di dalam hati kedua orang yang berakad. Misalnya, timbul pemikiran dari Pak Ahmad: “1 bulan yang lalu, harga beras masih 10 ribu rupiah. Uang 1 juta yang aku serahkan, saat itu bisa mendapatkan beras 1 kuintal. Namun, karena saat ini beras naik menjadi 10.500 rupiah per kilogram, uang sebesar 1 juta rupiah itu tidak lagi mendapat 1 kuintal beras. Ia hanya mendapatkan 95,2 kg beras.”
Timbulnya rasa ini merupakan hal yang manusiawi dan bisa terjadi kapan saja dan bisa menyasar siapa saja yang melakukan transaksi ribawi sebagaimana di atas. Itulah sebabnya, agar muncul kehati-hatian, maka ditetapkan dalam teks fiqih bahwa riba al yad, merupakan riba jual beli barang ribawi, akibat “pertukaran” barang sejenis atau tidak sejenis, namun salah satu dari kedua belah pihak ada yang melakukan penundaan penyerahan barang.” Frasa “pertukaran” ini merupakan batas fiqih yang harus dipatuhi. “Pertukaran antara jagung dengan beras”, akan sangat berbeda pengertiannya dengan “menjual jagung, kemudian uang yang didapat digunakan untuk membeli beras.” Untuk kasus terakhir, ada uang yang menjadi timbangan harga di antara komoditas yang ditawarkan oleh dua orang yang bertransaksi. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(Artikel oleh Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim. Judul awal: Tiga Jenis Praktik Riba dalam Jual Beli. Sumber: NU Online)