LADUNI.ID, Jakarta – Salah satu kajian dan praktik dalam tasawuf adalah bersikap zuhud. Jika disebut kata zuhud, maka biasanya stereotip yang sering muncul adalah dikaitkan dengan hidup menyepi, menjauhi masyarakat, berpakaian lusuh, tidak memiliki harta dan hal-hal lain yang bersifat menjauhi keduniawian. Padahal pandangan ini belum tentu sepenuhnya benar. Sebab ada pendapat sebagian ulama sufi yang memandang dibolehkannya memiliki banyak harta dengan cara yang halal, asalkan hatinya tetap cinta dan hanya terpaut ke Allah swt.
Pandangan tersebut di antaranya diungkapkan oleh seorang ulama sufi bernama Sufyan ats-Sauri sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Asror Yusuf dalam bukunya Kaya Karena Allah, bahwa yang dimaksud zuhud adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya membatasi makan-makanan yang kasar atau mengenakan pakaian kasar. Senada dengan Ats-Sauri, Dzun Nun Al-Misri juga menyatakan bahwa jangan mencari dunia, namun jika mencari dunia, maka janganlah mencintainya. Pandangan zuhud seperti ini juga ditegaskan oleh pendiri Tarekat Asy-Syaziliyyah, Imam Abu Hasan asy-Syazili, bahwa zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah swt.
Berdasarkan definisi zuhud yang diungkapkan oleh beberapa ulama sufi di atas, dapat diambil benang merah bahwa zuhud adalah sebuah sikap dalam hati yang hanya bergantung, fokus dan cinta kepada Allah swt, sehingga hatinya tidak bergantung dan tidak cinta terhadap duniawi, meskipun memiliki banyak harta.
Kisah sufi yang mempraktikkan zuhud tersebut, ialah Imam Abu Hasan asy-Syazili. Ia adalah seorang sufi yang dikenal kaya raya, namun di dalam hatinya hanya memilki cinta kepada Allah swt semata. Dikisahkan bahwa ada seorang tamu yang merupakan murid dari kerabatnya yang miskin. Murid tersebut diperintahkan oleh gurunya bertemu Imam Syazili untuk mendapatkan nasehat. Saat sesampainya di rumah Imam Syazili yang sangat mewah, murid ini tidak percaya bahwa Imam Syazili adalah seorang ulama besar. Karena dalam pandangannya, bagaimana mungkin seorang ulama tapi memiliki rumah mewah bak istana, perhiasan yang elok serta memiliki kuda yang gagah dan besar. Maka ia pun berfikir bergelimangnya harta Imam Syazili tidak mungkin mencirikan orang yang dekat dengan Allah swt. Maka baginya, gurunya yang dalam kondisi miskin adalah yang lebih pantas menjadi ulama.
Setelah masuk ke dalam rumah Imam Syazili dan bertemu dengannya, tamu yang merupakan murid dari kerabatnya menyampaikan salam dari gurunya dan meminta nasehat pada pendiri Tarekat Syaziliyyah tersebut. Kemudian Imam Syazili berkata “Tolong sampaikan ke gurumu, kapan berhenti memikirkan dunia”. Ia pun pulang kembali ke tempat gurunya dengan penuh rasa penasaran dan keheranan. Sebab ia tidak dapat memahami maksud nasehat yang ia dapatkan dari Imam Syazili. Setelah bertemu kembali gurunya, ia menyampaikan pesan Imam Syazili tersebut. Kemudian gurunya berkata sambil menangis “Benar yang dikatakan oleh Imam Syazili bahwa meskipun ia banyak harta, tapi tidak sedikitpun hartanya menempel dan melekat di hatinya. Sedangkan saya yang dalam kondisi miskin, tapi masih memikirkan kapan memiliki harta”. Sang murid pun akhirnya memahami maksud nasehat Imam Syazili.
Kisah lain soal Imam Syazili adalah ada seseorang yang ingin bertemu dengannya yang dikenal seorang ulama sufi yang agung. Tetapi karena ia tidak tahu rumah Sang Imam, ia pun bertanya kepada orang lain dan akhirnya sampai ke rumah Sang Imam. Setelah melihat rumah Imam Syazili, ia tidak percaya bahwa sang Imam adalah seorang ulama sufi yang dekat Allah swt karena memiliki rumah yang mewah. Alhasil ia pun mengurungkan niatnya dan pergi dari rumah Sang Imam.
Namun dalam perjalanan pulang, ia berpapasan dengan kereta kuda yang mewah dan seseorang dalam kereta tersebut mempersilakan dirinya untuk menaiki kereta kudanya. Dalam perbincangan di atas kereta, diketahui bahwa pengendara kereta mewah tersebut adalah Imam Abu Hasan asy-Syazili. Maka ia pun juga menjelaskan bahwa sebelumnya ia ingin bertemu dengannya. Mendengar hal tersebut, Sang Imam memberikan sebuah gelas yang berisikan minuman anggur pilihan yang terbaik. Orang tersebut merasa terpesona dengan minuman yang diberikan Sang Imam, sebab ia belum pernah melihat minuman anggur pilihan tersebut.
Khawatir minumannya tumpah, ia pun fokus untuk memegang gelas yang berisikan minuman anggur ini. Hingga tak terasa, perjalanan menggunakan kereta kuda telah sampai ke rumah Imam Syazili. Kemudian Sang Imam bertanya kepadanya “Bagaimanakah perjalanan tadi, apakah kamu dapat menikmati keindahan kota ini?” Orang itu pun tidak bisa menjawab apa-apa karena selama perjalanan ia hanya berfokus untuk melihat dan memegang gelas minuman anggur pilihan agar tidak tumpah. Imam Syazili pun kembali melanjutkan berbicara “Antara kamu dengan minuman anggur itu ibarat saya dengan harta saya dan Allah dalam batin saya. Karena perhatian saya hanya tertuju dan fokus ke Allah swt, sehingga saya tidak pernah peduli kota ini indah atau tidak”.
Dari dua kisah Imam Syazili di atas dapat diambil setidaknya tiga hikmah yang berkaitan zuhud, yakni: Pertama, harus selalu memiliki ketetapan cinta kepada Allah swt di dalam hati, meskipun memilki banyaknya harta, sehingga melimpahnya harta tidak akan membuat lalai. Kedua, bisa jadi dalam kondisi miskin, tetapi hatinya masih terlalu sering memikirkan harta atau dunia, maka kondisi ini belum termasuk zuhud. Ketiga, orang yang memiliki rasa cinta yang sangat tinggi kepada Allah swt akan dapat melupakan harta banyak yang ia miliki. Selain itu, berdasarkan kisah zuhudnya Imam Syazili tersebut, maka wajar KH. Said Aqil Siradj menyatakan bahwa zuhud tidak selalu identik dengan melarat.
Zuhud juga dapat diartikan ketika banyaknya harta tidak memiliki ruang sedikitpun di hati, namun hatinya telah dipenuhi dengan cinta kepada Rabbnya. Bila seseorang telah melakukan hal tersebut, maka ia telah berhasil mengendalikan dunia berada di tangannya dan Allah berada di hatinya. Hal ini sesuai dengan nasehat Syaikh Abdul Qadir Jailani yaitu “Letakkan dunia di tanganmu, jangan di hatimu! Hatimu harus terus merasakan kehadiran Allah, sebutlah nama Dzat-Nya. Penuhilah hatimu dengan nama-nama-Nya nan Indah.”
Salah satu bentuk sikap zuhud menurut seorang ulama yang menurutnya merupakan salah satu ciri seseorang tidak cinta dunia, tetapi lebih cinta akhirat adalah ia lebih suka banyak memberi daripada menerima. Hal ini juga dinyatakan dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yaitu:
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
Artinya: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”.
Berarti meskipun ia memiliki harta yang melimpah, maka ia lebih senang dan bahagia hartanya tersebut diinfakkan di jalan Allah swt. Sikap ini telah dilakukan oleh banyak kerabat Nabi Muhammad saw yang kaya raya, seperti Siti Khadijah dan Sayyidina Utsman bin Affan. Mereka selalu rela dan ikhlas memberikan semua hartanya termasuk jiwanya untuk membantu perjuangan dakwah Rasulullah saw.
Dengan demikian, jika seseorang kaya raya dan hatinya tetap mencintai Allah swt, sudah pasti ia akan ikhlas menyedekahkan hartanya untuk Allah swt, seperti untuk pembangunan Masjid dan pondok pesantren, membantu perjuangan dakwah para Kyai, serta menolong fakir miskin dan anak yatim. Ia menyadari bahwa harta yang ia miliki hanyalah merupakan titipan dari Allah swt dan akan dipertanggungjawabkan, sehingga ia sendiri tidak mencintai harta tersebut dan hanya mencintai Allah swt.
Selain itu, terkait tetap dibolehkannya memiliki harta, selagi tetap ingat Allah swt dan akhirat atau dengan kata lain tetap menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam ayat berikut:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. al-Qasash – 77).
Pun demikian dengan doa yang biasa dibaca oleh umat muslim yaitu:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al-Baqarah – 201).
Dari doa tersebut, dapat diketahui bahwa keseimbangan dunia dan akhirat itu penting, seseorang tidak hanya meminta kepada Allah swt untuk kebaikan akhirat, tetapi juga ia meminta kepada Allah swt untuk kebaikan dunia. Salah satu bentuk kebaikan dunia adalah dibolehkannya memiliki harta dan menjadi kaya raya, tetapi syaratnya adalah tetap bersikap zuhud. Dimana hatinya tetap cinta kepada Allah swt meski bergelimang harta.
Terakhir, sikap zuhud yang konkret dalam hati adalah tidak sedih atas kehilangan apapun terkait dunia, baik itu harta maupun jabatan. Sebaliknya, akan merasa sedih sekali jika kehilangan Allah swt atau kehilangan hal-hal akhirat karena disebabkan dunia. Dengan demikian, zuhud itu bukan dilihat dari rupa atau penampilan, tapi zuhud dilihat dari hati.
Oleh Labib Syarief