LADUNI.ID, Jakarta – Ada satu penggalan kisah yang menarik tentang al-Sari al-Saqathi (w. 867), sufi besar dari Baghdad, yang dikisahkan dalam kitab-kitab tasawuf klasik seperti Ihya’ Ulumiddin atau Risalah Qusyayriyyah. Diceritakan bahwa paman Junayd al-Baghdadi tersebut pernah berkata: “Selama empat puluh tahun, nafsuku memintaku untuk mencelupkan roti ke dalam sirup gula tapi aku tidak menurutinya.”
Kutipan al-Sari, murid sufi besar al-Karkhi, di atas disebutkan al-Ghazali dalam kitab Ihya’ juz ketiga dalam bab Riyadlatunnafs (Olah Jiwa). Kutipan ini muncul saat al-Ghazali mendiskusikan masalah bernikmat-nikmat dalam hal yang diperbolehkan (al-tana‘‘um bi al-mubah). Al-Ghazali menjelaskan bahwa menikmati hal yang diperbolehkan haruslah tetap diwaspadai karena itu bisa menjadi penyebab menjauhnya kita dari Allah.
Apa yang diutarakan oleh al-Sari ini tidak lain adalah contoh mujahadah (memerangi nafsu/diri, berusaha keras) sekaligus riyadlah (olah batin, pendisiplinan) yang dalam Ihya’ disebut sebagai salah satu upaya untuk memperoleh akhlak yang baik. Kisah ini menggambarkan usaha keras al-Sari untuk menampik bisikan nafsunya untuk menikmati kelezatan makanan tertentu yang sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang dilarang. Namun demikian, hal semacam ini bagi kaum sufi adalah langkah penting untuk menjinakkan nafsu—yang jika sudah mulai menguasai diri bisa dengan seketika membalikkan keadaan batin seseorang sehingga dapat menjerumuskannya ke jurang kehinaan.
Waktu “empat puluh tahun” dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa tirakat menaklukkan jiwa bukanlah episode yang pendek. Ia bukan seperti usaha keras dalam lari jarak pendek. Ia adalah usaha keras yang harus dilakoni dalam waktu yang panjang—mungkin seperti lari maraton. Karena itu, ikhtiar untuk menaklukkan nafsu mungkin akan terus berlangsung hingga akhir hayat.
Saat membaca kutipan al-Sari ini, saya jadi teringat sebuah petikan kisah almarhum ayah saya yang pernah bercerita tentang almarhum Kiai Ahmad Basyir Abdullah Sajjad, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah yang wafat pada bulan Juli lalu. Saat masih kecil, ayah saya mondok di Pesantren Sidogiri Pasuruan dengan “dititipkan” (oleh kakek saya) kepada Kiai Basyir yang saat itu berusia remaja.
Salah satu hal yang sering diceritakan ayah saya adalah tentang bagaimana Kiai Basyir makan sehari-hari di pondok. Pada sekitar awal tahun 1950-an, saya pikir makanan di pesantren pada khususnya tentu tidak seperti saat ini yang mudah didapat dan banyak pilihan. Yang menarik, di tengah keterbatasan makanan seperti itu, Kiai Basyir remaja memberi teladan yang luar biasa. Kata ayah saya, jika Kiai Basyir sedang menikmati makanan yang lezat, dan beliau menikmatinya, sering kali beliau tiba-tiba segera mengakhiri aktivitas makannya itu.
“Jadi, beliau buru-buru berhenti makan justru saat makanannya sedang terasa nikmat sekali,” kata ayah saya bertahun-tahun lalu.
Saat mengingat cerita ini dengan latar kisah al-Sari dalam kitab Ihya’, saya jadi mengerti bahwa apa yang dilakukan Kiai Basyir remaja itu adalah contoh nyata tentang pelajaran pengendalian atau pendisiplinan nafsu/diri sekaligus upaya keras untuk menjinakkan atau menaklukkannya. Dengan latar kisah al-Sari, saya memahami pilihan sikap Kiai Basyir remaja itu dilakukan tak lain untuk menjaga agar jangan sampai saat kita tengah menikmati kelezatan makanan, yang mengendalikan kita justru nafsu kita—yang dari situ sangat mungkin lahir sikap melebihi batas.
Masih dalam hal makan, ayah saya juga sering bercerita bahwa saat menanak nasi, Kiai Basyir remaja acap kali mengurangi takaran beras yang akan dimasaknya. Caranya, beliau memukulkan wadah takaran yang terbuat dari alumunium ke benda keras sehingga sedikit demi sedikit membentuk benjolan ke dalam. Lambat laun, otomatis isi takaran akan menjadi lebih sedikit.
Kisah al-Sari dan juga Kiai Basyir di atas memperlihatkan bahwa tirakat atau mujahadah tidaklah harus selalu berkaitan dengan hal-hal yang besar dan wah. Hal-hal kecil yang mungkin bersifat atau terkait dengan hal yang bersifat material atau duniawi jika dilakukan secara terus-menerus mungkin akan dapat membentuk sikap batin (akhlak, hay’ah) tertentu yang dapat menopang pada bentuk sikap batin yang lebih mendasar, seperti ketulusan, kejujuran, kegigihan, dan sebagainya.
Di lingkungan Pesantren Annuqayah, misalnya, saya mendengar bahwa almarhum Kiai Basyir, seperti juga almarhum Kiai Abdul Warits Ilyas, secara istikamah mencuci sendiri semua pakaiannya hingga akhir hayatnya—kecuali di saat-saat akhir keduanya sakit keras sehingga harus istirahat dan mengurangi aktivitas fisik.
Praktik-praktik sederhana seperti ini bagi saya adalah salah satu teladan spiritual yang luar biasa yang mungkin juga turut mendukung konsistensi beliau, misalnya, dalam keistikamahan memimpin shalat berjamaah lima waktu di pondok bersama santri-santri.
Saya pikir, pesantren-pesantren di Nusantara menyimpan banyak cerita tentang tirakat-tirakat spiritual seperti ini yang jika dihimpun akan bisa memperkaya khazanah kisah-kisah spiritual sebagaimana termuat dalam kitab-kitab tasawuf klasik.
Sumber: Rindu Pulang