LADUNI.ID I SHALAT– Umat Islam sangat senang dengan datangnya bulan Ramadhan. Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan yang tidak ada dibulan lain adalah shalat tarawih. diantaranya: shalat tarawih, polemik shalat tarawih telah terjadi sejak lama, sebagaian masyarakat ada yang mengerjakannya 8 rakaat plus tiga rakaat witir, namun mayoritas masyarakat ada juga yang melakukannya dengan 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir.
Tentu saja mereka punya alasan dan pemahaman tersendiri. Sebagaiman dimaklumi bersama bahwa hukum dasar shalat tarawih adalah sunat muakkad. Shalat tarawih sebagai shalat malam dilakukan dengan dua rakaat sekali salam. Dari dalil yang disebutkan tentang tarawih adanya kontradiksi dan dimungkinkan diantara hadist tersebut ada takwil, maka dalil yang lebih kuat dalam permasalahan shalat tarawih adalah ijma’ sebagai dalil qath’i. Pernyataan ini sebagaiman diutarakan dalam kitab karangan Abu Al-Fadhl bin Abdul Syukur dalam karyanya bernama”Kasyfu Al-Tabarih Fi Bayani Shalat Tarawih” berbunyi:
“Karena dalil-dalil tentang bilangan shalat rakaat shalat tarawih saling berlawanan dan memungkinkan adanya ta’wil maka tidak memungkinkan untuk dijadikan hijjah dalam menetapkan rakaat shalat tarawih karena dalil-dalil tersebut saling menjatuhkan maka dari itu kami tidak mengambil dalildarihadist-hadist tersebut melainkan menggunakan dalil yang Qat’I yaitu ijma’ kebanyakan orang islam ( dizaman Sayyidina Umar RA ) yang melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat berdasarkan hadist riwayat Baihaqi dari sahabat As-saib bin Yazid RA dengan isnad yang shahih, Saib mengatakan : Mereka (orang-orang muslim) mengerjakan shalat tarawih 20 rakaat pada bulan Ramadan di zaman Khalifah Umar RA”( Kitab Kasyfu Al-Tabarih Fi Bayani Shalat Tarawih: 13).
Terlepas dari perbedaan jumlah rakaat antara 8 dan 20 rakaat, hendaknya tidak sepatut dan sewajarnya kelompok yang memilih melaksanakan shalat Tarawih 20 rakaat meremehkan, melecehkan atau bahkan menyesatkan sampai kepada mengkafirkan kelompok yang memilih melakukannya delapan rakaat. Juga sebaliknya. Menahan diri dari perkara yang bisa mengundang mafasid (kerusakan) dan saling menghormati dan bertoleransi itu juga tidak kalah pentingnya.
Sungguh sangat disesalkan, apabila di bulan Ramadhan yang agung, bulan penuh berkah, rahmah dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta`ala, justru dikotori dengan saling menghujat dan lain sebagainya. Semoga perbedaan ini menjadi ladang beramal untuk kita semua dan memperkuat toleransi dan ukhuwah islamiah diantara sesama kita untuk terus beramal sisa bulan yang mulia ini untuk meraih sebuah titel yang bernama “muttaqqien” dan bisa mempertahankan serta mempersembahkannya kelak nanti di sana. Semoga…!!!
Wallahul Muwafiq ila Aqwamith Thariq
Helmi Abu Bakar el-langkawi
Staf Pengajar Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga,
Bireun, Aceh