LADUNI.ID, Jakarta – Penulis bernama Imam ‘Alam Sultan Ulama Abdul Aziz bin Abdus Salam bin Abdul Qasim bin Hasan bin Muhammad Al-Muhadzdzab Ad-Dimasyqi Asy-Syafii, yang dikenal dengan sebutan Al-‘Izz bin Abdus Salam. Dilahirkan pada tahun 577 H. Dia belajar fikih dan menuntutnya pada Fakhruddin bin Asakir, Abul Qasim bin Asakir, Saifuddin Al-Amidi, Abdul Lathif Al-Baghdadi, Qadhi Abdul Shamad bin Muhammad Al-Harastani dan lainnya.
Beberapa ulama meriwayatkan darinya, di antaranya Syaikh Daqiq Al-Iid, Ibnu Firkah, Abu Muhammad Al-Dimyathi dan lain-lain.
Dia sangat menonjol dalam dalam madzhab yang dianutnya dan banyak mengungguli teman-teman sejawatnya. Dia mampu menggabung dalam dirinya sekian banyak disiplin ilmu, baik tafsir, fikih, ushul fikih, bahasa Arab dan lainnya hingga mencapai derajat ijtihad dan bisa menjadi salah satu simpul utama madzhab Asy-Syafii. Dia banyak mengajar di berbagai sekolah di Damaskus dan banyak dimintai fatwanya dari segenap penjuru.
Dia ditetapkan sebagai khatib resmi di Damaskus dan menghapus beberapa bid’ah yang dilakukan oleh para khatib. Dia tidak memakai pakaian hitam-hitam, dan membuat khutbah bersajak-sajak, dia mengucapkan dengan apa adanya. Dia senantiasa menjauhi tindakan memuji-memuji pada para raja, namun demikian dia tetap mendoakan yang baik buat mereka.
Tatkala Shalih Ismail menyerahkan benteng Syaqif pada orang-orang Eropa, Syaikh memprotesnya di atas mimbar dan tidak mendoakan untuknya. Maka marahlah raja karena tindakan itu dan dia memecat serta memenjarakannya. Setelah itu, dilepas dan Al-‘Izz scgera berangkat menuju Mesir dan dia diterima dengan senang hati oleh penguasa Mesir, Saleh Ayyub yang sangat menghormatinya. Kemudian dia diserahi jabatan sebagai qadhi untuk wilayah Mesir kecuali Kairo dan Wajh Qabali. Dia juga diserahi untuk menjadi khatib di Masjid Jami Mesir dan melakukan apa yang ditugaskan padanya dengan sebaik-baiknya. Dia mampu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Kemudian dia mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai qadhi dan dia pun diturunkan oleh Sultan dari kedudukannya sebagai khatib, maka dia pun tinggal di rumahnya dan mengajarkan ilmunya kepada masyarakat, dalam ilmu tafsir, ilmu yang pertama kali dia ajarkan.
Tatkala sakit, Sultan mengirimkan utusan padanya dan berkata; Tentukan salah seorang di antara anak-anakmu untuk menjadi pengganti kedudukanmu! Maka dia pun berkata, ”Tidak ada seorang pun di antara mereka yang pantas untuk itu, dan madrasah Shalahiyah ini hanya cocok untuk Qadhi Tajuddin.” Maka diserahkanlah posisi itu padanya.
Dia mengambil beberapa sikap yang sangat fenomenal dalam hal amal ma’ruf dan nahi mungkar, dan tidak peduli dengan segala celaan orang-orang yang mencela. Di antaranya adalah apa yang menjadi pendapatnya bahwa para penguasa pemerintahan yang berasal dari Turki adalah orang-orang yang tidak merdeka, dan bahwa sesungguhnya hukum budak berlaku bagi mereka dan hendaknya tebusannya diserahkan ke Baitul Mal kaum muslimin. Maka masalah ini menjadi besar dan memukul orang-orang Turki, namun dia tetap kukuh dengan pendiriannya yang menyatakan bahwa tidak sah kontrak dengan mereka dalam hal jual beli dan nikah.
Dengan demikian, kepentingan mereka menjadi terganggu. Di antara mereka ada yang berkedudukan sebagai wakil Sultan. Maka memuncaklah kemarahan orang itu. Mereka pun berkumpul dan sepakat untuk mengirimkan orang padanya. Dia berkata: “Mari kita adakan majlis khusus untuk kalian, dan dipanggilkan untuk kalian agar hasil penjualan kalian diserahkan ke Baitul Mal dan kalian bebas merdeka sesuai dengan syariat.” Mereka melaporkan masalah ini kepada Sultan. Lalu Sultan mengutus seseorang, namun orang itu tidak kembali. Maka muncullah ucapan yang sangat keras dari Sultan, yang intinya adalah pengingkaran terhadap apa yang diucapkan Syaikh Al-‘Izz dalam hal memasuki urusan ini dan bahwa dia tidak memiliki utusan dalam masalah ini. Syaikh marah dan dia membawa semua kebutuhannya di atas keledainya dan menaikkan keluarganya dia atas keledai yang lain. Dia berjalan keluar dari Kairo dan berjalan menuju Syam.
Namun, tidak sampai setengah mil perjalanan, kaum muslimin telah berjalan mengikutinya dari belakang. Sehingga hampir tidak ada seorang perempuan pun, atau anak-anak dan lelaki kecuali mengikutinya. Apa lagi kalangan ulama dan orang-orang saleh dan para pedagang. Apa yang terjadi ini sampai di telinga Sultan, dan dikatakan padanya:” Jika dia pergi maka akan pergi pula kerajaanmu!” Sultan pun berangkat menemui, menghalangi serta memahamkannya serta berusaha menyejukkan hatinya, maka dia pun kembali. Mereka pun sepakat agar para pejabat itu dipanggil. Maka wakil Sultan pun mengirimkan utusan padanya agar mengubah pendapatnya, namun semua itu tidak membawa hasil.
Wakil Sultan itu pun menjadi berang dan berkata: Bagaimana Syaikh ini akan memanggil kami lalu menjual kami sedangkan kami ini adalah raja-raja dunia? Demi Allah, akan aku tebas dia dengan pedangku ini! Maka dia pun keluar sendiri bersama dengan rombongannya dan mendatangi rumah Syaikh, sementara pedang telah terhunus di tangannya. Kemudian dia mengetuk pintu rumah, maka keluarlah anak Syaikh, saya kira dia bernama Abdul Lathif, dan dia pun melihat apa yang terjadi dengan wakil Sultan itu. Maka dia pun kembali menemui ayahnya dan menceritakan apa yang dia lihat pada wakil Sultan itu. Namun dia tidak bergeming dan tidak terjadi perubahan apa pun pada dirinya. Dia berkata: “Wahai anakku, ayahmu ini terlalu kecil untuk dibunuh di jalan Allah,” maka dia pun keluar seakan-akan takdir telah turun pada wakil Sultan itu.
Tatkala, matanya menatap wakil Sultan tadi, gemetarlah tangan wakil Sultan itu dan pedangnya pun terjatuh, sendi-sendinya terasa loyo. Dia pun menangis dan meminta kepada Syaikh untuk mendoakannya, dan berkata: “Wahai tuanku pilihlah pekerjaan yang engkau suka!” Maka syaikh berkata, ”Saya akan memanggil orang banyak dan akan menjual kalian!” Wakil itu berkata: “Lalu untuk apa akan kau pergunakan uang dari basil penjualan kami itu?” Syaikh berkata, ”Untuk maslahat kaum muslimin.” Dia berkata, ”Siapa yang akan memegangnya?” Dia berkata, ”Saya sendiri.” Maka dia pun memanggil para pejabat itu satu-satu dan harga mereka demikian tinggi, lalu dia pegang hasil penjualan itu dan dia pergunakan untuk kebaikan. Ini satu hal yang tidak pernah terdengar dilakukan oleh siapa pun sebelumnya.
Syaikh meninggalkan beberapa karya yang jarang ada tandingannya. Di antaranya adalah, Al-Qawaid al-Kubra, Al-Qawaid al-Shugra, Majaz AI-Qur‘an, At-Tajisir, Al-Imam fi Adillat al-Ahkaam, Al-Kalam ‘ala Syarh Asmaul Husna, Syajarat al-Ma’arif, yang kitab sedang kita baca ini, Al-Fatawa Al-Musholiyah, Al-Fatawa al-Mishriyyah dan buku-buku lainnya.
Di antara yang menjadi ijtihadnya adalah dia menyatakan tidak sahnya shalat raghaib (anjuran-anjuran yang tidak berdalil) dan shalat nishfu Sya’ban, maka terjadilah kesepakatan dia dengan Ibnu Shalah gara-gara hal itu.
Syaikh meninggal di Kairo pada hari Ahad tanggal 10 Jumadil Ula tahun 660 H. Sebuah hari yang penuh makna. Jenazahnya dihadiri oleh orang awam dan khusus dari Kairo dan Mesir dan tidak seorang pun yang tidak hadir dan Sultan Malik Azh-Zhahir turut ikut dan menyalatkannya di atas kuda dan mengantarkannya dengan menaiki kulit pohon sementara dunia mengiringi jenazahnya. Andaikan tidak ada pembantu-pembantu Sultan, pasti dia tidak akan bisa menjejakkan kakinya ke tanah karena demikian sesaknya orang yang hadir. Kemudian dishalatghaibkan di Damaskus pada hari Kamis bulan Jumadil Ula, demikian juga di semua kota-kota di Mesir, di negerinya sendiri dan di negeri-negeri Syam hingga Furat. Birah dan Rahbah, kemudian Madinah Munawarah dan Mekkah. Semoga Allah senantiasa memuliakannya hingga hari kemudian. Demikian pula hal ini terjadi di negeri Yaman.
Di antara sumber utama yang bisa dijadikan sebagai rujukan dalam penulisan biografinya adalah buku-buku berikut: Thabaqat Asy-Syafiiyah aI-Kubra, karangan As-Subki (8/209-255), Dzail Mir’atuz Zaman karya AJ-Yunini (1/505-506), Thabaqat Asy-Syafiiyah karangan Qadhi Syubhah (2/109-111), AI-Wafi bi al-Wafayat karya Ash-Shafadi (18/520-522), Al-Bidayah wa al-Nihayah (13/248-249) dan lainnya.
Sumber: Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam. Syajaratul Ma’arif Tangga Menuju Ihsan, penj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020.