LADUNI.ID, Jakarta – Bagi ahlussunnah wal jama’ah, tasawuf menjadi salah satu kajian keagamaan yang vital. Karena ajarannya yang mengandung makna cinta kasih kepada Allah dan kepada sesama ciptaan-Nya. Tasawuf sendiri adalah jalan supaya lebih dekat kepada Sang Maha Cinta. Jalan supaya mendapatkan ketenangan batin dalam meniti kehidupan. Tentunya dengan bimbingan guru spiritual atau mursyid yang ahli di bidangnya.
Juga jangan lupa, bahwa tasawuf tidak pernah mengajarkan kekerasan. Selama ini kita selalu disuguhi dengan paradigma kekerasan atas nama agama. Aksi-aksi teror yang telah terjadi atas nama agama menjadikan pertanyaan dibenak kita: “apakah agama adalah sumber ketenangan? Atau justru sebaliknya?”
Maka, benar seperti apa yang pernah diungkapkan Prof. Dr. Quraish Shihab: “Iblis berbuat jahat tidak berani sambil bertakbir. Sedangkan manusia berani berbuat jahat sambil bertakbir, seolah-olah kejahatan yang mereka lakukan atas perintah Tuhannya.”
Lain hal dengan kaum radikalis yang mengatakan bahwa seolah-olah tasawuf adalah gulma yang harus disingkirkan serta menjadi sebab kemunduran bagi ummat islam. Bahkan dianggap sebagai suatu kesesatan dalam beragama. Walhasil, aksi teror mereka lakukan dengan menggila dan terkadang tanpa belas kasih justru dianggap sebagai aksi jihad ala mereka. Diawali dengan menebar propaganda secara halus dan dengan konten yang menarik. Kemudian mereka terjebak dalam fanatisme agama yang membunuh peradaban. Mereka justru menjadi parasit dalam keberagaman dan keberagamaan.
Beberapa pemikiran kaum radikalis tentang tasawuf bisa kita lihat sebagai berikut:
1. Hizbut Tahrir (Tahririyah)
Untuk masalah tasawuf, tercantum dalam pasal 10 di RUU Daulah khilafah versi HTI:
“Seluruh kaum Muslim memikul tanggung jawab terhadap Islam. Islam tidak mengenal rohaniawan. Dan negara mencegah segala tindakan yang dapat mengarah pada munculnya mereka dikalangan kaum Muslim.”
Tasawuf menurut mereka bukan bagian integraldari Islam, tasawuf mereka anggap berasal dari India. Tidak murni ajaran Islam. Menurut Ketua DPD HTI Malang raya, Abdul Malik, pembinaan spriritual untuk aktivis HTI bukan dengan tasawuf tapi cukup dengan al-Qur’an:
“Tasawuf itu bukan dari islam, tasawuf itu adalah perkawinan antara islam, ketika islam ke india. Berarti itu bukan murni
dari islam. Sebenarnya pembinaaan spiritual untuk para kader HTI cukup apa yang ada pada hadist Rasulullah dan cukup apa yang ada pada Qur’an, selesai. Kita punya buku min muqawimat nafsiyah islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah islamiyah). orang yang ingin bergabung dengan Hizbut Tahrir harus mengkaji kitab itu sampai selesai.”
Dari sini bisa kita ketahui bila Khilafah versi HTI berdiri, dapat dipastikan Tarekat Tasawuf tidak bisa eksis lagi. Daulah Khilafah tidak segan untuk menindak tegas aktivitas Tarekat.
Bila dibandingkan dengan Libya ketika dipimpin Khadaffi, Muammar Khadaffi cukup toleran terhadap Tarekat-Tarekat di negaranya. Semasa berkuasa, tidak terdengaradanya berita pelarangan atau sikap represif pemerintah terhadap eksistensi Tarekat Tasawuf.
Juga, Hizbut Tahrir menganggap bahwa Tasawuf merupakan sumber dari kemunduran bahkan kehancuran khilafah. Khususnya pada masa Khilafah Utsmaniyah (1299-1924). Seperti yang dijelaskan dalam buku terbitan Lembaga Kajian Syamina pada April 2017 di halaman ke-2. Disitu tertera jelas bahwa sumber kemunduran ummat islam dalam hal Sains dan Keagamaan adalah Aliran Murji’ah dan Tasawuf.
2. Salafi Wahabi
Selain Tahririyah, Salafi Wahabi justru lebih lantang menyuarakan “kesesatan” Tasawuf. Selain dikarenakan tidak ada dalil dalam nash tentang tasawuf, juga amaliyah kaum sufi dianggap sesat dan pengamalnya pasti masuk neraka. Hal ini di jelaskan dengan rinci pada buku Sufi, dalam Pandangan Islam yang diterbitkan oleh Penerbit Darul Qasim tahun 2007.
Dalam buku tersebut, mereka menggaungkan beberapa premis terhadap kaum tasawuf:
- a.) Kaum Tasawuf berdoa kepada Nabi dan para Mursyid Tarekat. Padahal ini adalah sebagai Wasilah doa yang biasa menjadi amaliyah Aswaja An Nahdliyah. Dan golongan Salafi Wahabi sangat mengharamkan Tawashul. Mereka menganggap bahwa tawashul merupakan salah satu bentuk kesyirikan.
- b.) Ajaran tasawuf sebenarnya adalah produk dari Kaum Hindu India. Padahal jelas, tasawuf adalah intisari perjalanan ruhani para mu’minin dalam mendekatkan diri kepada Allah, dan tidak bertentangan dengan Nash. Bahkan Tasawuf telah berhasil menjadi media pendekatan dakwah di Nusantara hingga berkembang sampai saat ini.
- c.) Fitnah bahwa kaum Sufi mengajarkan berkasih sayang kepada Setan, memberikan salam kepada anjing dan babi, Fir’aun lebih alim daripada Nabi Musa AS, dan lain sebagainya.
- d.) Ziarah ke makam para Wali. Ini pun sangat sering di suarakan oleh kaum Salafi Wahabi.
- e.) Kitab-kitab kaum sufi menyesatkan. Siapa saja yang mempelajari kitab mereka akan masuk neraka.
Intinya kaum Tahririyah, Salafi dan Wahabi membenci Tasawuf dengan berbagai alasan. Tidak heran pula dari golongan mereka sering melakukan teror, menjadi perusuh, menganggap golongan selain mereka termasuk sesat, dan lain sebagainya.
- a.) Ajaran tasawuf sebenarnya adalah produk dari Kaum Hindu India. Padahal jelas, tasawuf adalah intisari perjalanan ruhani para mu’minin dalam mendekatkan diri kepada Allah, dan tidak bertentangan dengan Nash. Bahkan Tasawuf telah berhasil menjadi media pendekatan dakwah di Nusantara hingga berkembang sampai saat ini.
- b.) Fitnah bahwa kaum Sufi mengajarkan berkasih sayang kepada Setan, memberikan salam kepada anjing dan babi, Fir’aun lebih alim daripada Nabi Musa AS, dan lain sebagainya.
- c.) Ziarah ke makam para Wali. Ini pun sangat sering di suarakan oleh kaum Salafi Wahabi.
- d.) Kitab-kitab kaum sufi menyesatkan. Siapa saja yang mempelajari kitab mereka akan masuk neraka.
Intinya kaum Tahririyah, Salafi dan Wahabi membenci Tasawuf dengan berbagai alasan. Tidak heran pula dari golongan mereka sering melakukan teror, menjadi perusuh, menganggap golongan selain mereka termasuk sesat, dan lain sebagainya. Rekam jejak mereka dalam jejak sejarah pun lebih berdarah dari apa yang mereka tuduhkan kepada kaum Sufi dan para Ulama’ Aswaja An Nahdliyah.
*) Artikel ini ditulis oleh M. A. Zaenal (Dikutip dari berbagai sumber).