LADUNI.ID, Jakarta – Tulisan ini merupakan seri pengantar penulis kitab Syajaratul Ma’arif Tangga Menuju Ihsan, yang ditulis oleh Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam. Di dalam edisi ini akan dibahas mengenai Kelebihan Hambah Allah dan Sebab-sebab keutamaan atau kemuliaan. Selamat membaca.
Hamba yang paling Allah cintai dan paling mulia di sisi-Nya adalah hamba yang mengerti dengan sebenarnya apa yang dimiliki Tuhannya dari sifat-safat pengagungan, sifat-sifat kesempurnaan dan tentang apa yang telah Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya berupa kenikmatan dan keutamaan. Juga, pengetahuannya tentang segala hal yang mustahil bagi-Nya dari aib-aib dan cela, sifat-sifat kekurangan, berubah-ubah dan binasa. Juga, mengetahui tentang hal-hal yang boleh bagi-Nya untuk dilakukan berupa perintah dan larangan, nasihat dan peringatan keras, kabar gembira dan pengurusan, mengumpulkan hamba-hamba-Nya dan menebarkan, memberikan sanksi dan balasan, menginakan dan meuliakan.
Mereka tidak menyambah pada selain Allah atau mencari selain ridah-Nya. Mereka telah hadir di sisi Tuhannya, sehingga tidak pernah mengeluh selain pada-Nya dan tidak akan pernah menyerah diri selain pada-Nya. Mereka hadir dalam taman-taman makrifat-Nya, dan menatap kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Jika mereka melihat pada kemuliaan-Nya mereka sangat takut pada-Nya dan fana di dalam-Nya. Jika dia menatap pada keindahan-Nya maka dia akan mencintai dan luluh, jika dia melihat pada sengitnya siksa-Nya dia akan ngeri dan takut luar biasa. Jika menetap pada keluasan rahmat-Nya dia akan penuh harap pada-Nya dan akan bertaubat pada-Nya.
Juga, jika melihat bahwa Dia satu-satunya yang melakukan pekerjaan maka tidak akan bertawakkal kecuali pada-Nya. Jika melihat bahwa Dia senantiasa melihatnya maka dia tidak akan merasa malu untuk melakukan pelanggaran pada-Nya. Jika mendengar panggilan-Nya maka dia akan senantiasa menjawabnya. Jika mendengar kabar gembira-Nya maka dia akan senantiasa menjawabnya. Jika mendengar panggilan-Nya dia bahagia. Jika hatinya penuh denga keagungan-Nya maka dirinya seakan lenyap. Mereka dalam tingkatan-tingkatan ini sangat beragam, dan dengan sifat-sifat ini bertingkat-tingkat dan semulia-mulia mereka di dunia ini adalah yang akan memiliki kedudukan paling tinggi di negeri keabadian dan orang yang paling dekat kepada Sang Maha Mulia dan Maha Pengampun.
Sebab-Sebab Keutamaan (Kemuliaan)
Keutamaan-keutamaan itu memiliki sebab-sebab, ada yang karena usaha dan ada pula yang bukan karena usaha.
Keutamaan bukan karena hasil usaha ada enam: pertama, akal dan pahala yang akan didapatkannya bergantung pada jejaknya atau dampaknya, sebab dia akan mengajak pada ilmu dan kedekatan pada Allah dan kemuliaan derajat.
Kedua, sifat-sifat mulia berupa insting, seperti cemburu, hati-hati, kasih sayang, dermawan, berani, malu dan pahalanya tergantung pada jejaknya dan dampaknya.
Dampak dari cemburu adalah mencegah kekejian. Dampak dari hati-hati adalah memperlambat dari memberi sanksi pada orang-orang yang melakukan kesalahan hingga rasa marah orang yang didhalimi menjadi dingin dan dia dengan gampang akan memberikan maaf.
Dampak dari sifat kasih adalah akan membuatnya melakukan kebaikan yang sempurna dan memberikan nikmat yang menyeluruh.
Dampak dari kedermawanan adalah mengeluarkan harta dan semua yang bermanfaat dalam mencapai kedekatakan kepada Allah.
Dampak dari sikap berani adalah mencegah musuh dari berbuat jahat pada jiwa dan harta, pada pasangan hidup dan anak-anak. Dampak dari rasa malu adalah mencegahnya dari melakukan perbuatan yang tidak baik.
Ketiga, pengetahuan-pengetahuan bersifat ilham, dan pahalanya sangat khusus, di mana ia lahir dari kondisi ruhani dan perbuatan.
Keempat, karamat, seperti tersingkapnya hal-hal ghaib, terjadinya peristiwa luar biasa. Ia akan menjadi ujian bagi para penempuh jalan Allah. Maka, barang siap yang terhenti bersamanya dia akan putus perjalannya, sebab dia akan sibuk dengannya dan lupa Tuhannya dan barang siapa yang berpaling darinya dan senantiasa menghadap Allah, maka dia akan semakin naik maqam ruhaninya karena dia sibuk bersama Tuhannya.
Kelima, kenabian. Dan ini adalah semulia-mulia kedudukan dan setinggi-tinggi cita dan tidak bisa dicapai melalui usaha.
Keenam, risalah (kerasulan), dan dia bisa terjadi tanpa perantara, sebagaimana firman-Nya,
اِذْهَبْ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۖ (١٧)
Idzhab ilaa fir’awna innahu thaghaa
Artinya: Pergilah kamu kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. (QS. An-Nazi’at: 17)
Bisa juga terjadi melalui perantaraan seorang malaikat,
يٰٓاَيُّهَا الْمُدَّثِّرُۙ (١) قُمْ فَاَنْذِرْۖ (٢)
Yaa ayyuhaa almuddatstsiru (1) qum fa-andzir (2)
Artinya: “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!” (QS. Al-Mudatstsir: 1-2).
Pahala bagi enam sebab-sebab itu sangat khusus walaupun dia sangat mulia dalam dirinya, mungkin saja sebagiannya lebih utama dalam pahala yang didapatkan, seperti kenabian dan risalah serta ma’rifat-ma’rifat ilhamiah.
Sedangkan sebab-sebab yang lain adalah muncul karena diusahakan, di mana adanya perintah berhubungan dengannya, juga pujian dan ganjaran di dunia dan akhirat yang banyak ragamnya:
Pertama, ma’rifat kepada Allah, mengerti sifat-sifat-Nya dan Asmaul Husna-Nya, serta sifat-sifatNya yang agung dan dia merupakan sebaik-baik dan semulia-mulia pekerjaan, semulia-mulia buah dan pengaruh. Baru setelah itu pengetahuan tentang adab dan hukum-hukum-Nya.
Kedua, ahwal (kondisi spiritual) yang muncul dari ma’rifat terhadap sifat-sifat-Nya, cinta, tawakkal, rasa takut dan harap, serta fana’. Dia memiliki pahala yang besar sesuai dengan keutamaannya dan levelnya di sisi Sang Maha Agung.
Ketiga, setiap perkataan yang mendekatkan kepada Allah dan dia memiliki pahala di sisi Allah sesuai dengan faedah dan keutamaannya.
Keempat, taat kepada Allah dengan indera dan semua anggota tubuh dan pahalanya sesuai dengan faedah dan keutamaannya.
Kelima, mencegah dari perbuatan-perbuatan yang dilarang baik yang lahir maupun yang batin dan pahala kesabaran atasnya sesuai dengan kadar muhadah jiwa. Meninggalkan hal-hal yang haram lebih utama daripada meninggalkan makruh sebagaimana melakukan yang fardhu jauh lebih utama daripada melakukan yang sunnah.
Keenam, mencegah diri melakukan syubhyat dan hal-hal yang makruh.
Ketujuh, mencegah diri dari melakukan hal-hal yang mubah secara berlebihan yang dapat membuatnya lalai mengingat Allah, Tuhan Pemilik langit.
Adapun pahlaa yang didapatkan segera di dunia adalah rasa akrab dengan Allah, ridha dengan takdir-Nya, merasa lapang dengan-Nya, lapangnya rezeki dan berkecukupan, hidayah dan hal-hal lain yang Allah segerakan dari pahala-pahala ketaatan kepada-Nya.
Sementara pahala-pahala di akhirat ada beberapa macam: Pertama, kenimatan ragawi, seperti bidadari, istana-istana dan anak-anak remaja rupawan.
Kedua, kenikmatan ruhani seperti kebanggaan berada di sisi Allah, kedekatan dengan-Nya, bicara dengan-Nya dan kabar gembira dari-Nya dengan rahmat dan ridha.
Ketiga, ridha Sang Maha Rahmah dan melihat Tuhan dan keduanya adalah puncak nikmat di surga sebab dia tidak bsia disayangkan dengan anggota badan dan tidak bisa dungkap dengan lisan.
Sumber: Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam. Syajaratul Ma’arif Tangga Menuju Ihsan, penj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020.