LADUNI.ID, Jakarta – Tulisan ini merupakan sesi pengantar penulis kitab Syajaratul Ma’arif Tangga Menuju Ihsan, yang ditulis oleh Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam. Di dalam edisi ini akan dibahas tentang penjelasan tentang Qurbah atau pencapaian kedekatan pada Allah dan tentang adab Al-Qur’an.
***
Kebahagiaan manusia itu ada dalam pengetahuannya tentang Tuhan (Ad-Dayyan) dan ketaatan pada Sang Maha Kasih (Ar-Rahman) denga melakukan apa yang Dia perintahkan dalam keadaan terang-terangan atau dalam keadaan sendirian dan meninggalkan apa yang dilarang yang berupa kekufuran, kefasikan dan maksiat yang berhubungan dengan hati dan raga.
Maka marilah kita mulai dengan perbaikan hati, karena sesungguhnya dia merupakan sumber segala kebaikan, dan segala dosa dan permusuhan. Sebab jika hati telah baik dengan ma’rifah dan iman, maka akan baik pula semua raga dengan senantiasa melakukan ketaatan dan ketundukan. Jika hati telah rusak dengan kejahilan dan kekafiran maka seluruhakan rusak pula dengan maksiat dan keingakaran.
Baiknya hati itu ada dua: pertama: terbatas, seperti ilmu dan keyakinan. Kedua: transitif (mempengaruhi yang lain), seperti keinginan untuk rendah hati dan berbuat baik.
Sebagaimana halnya baiknya raga itu ada dua: pertama: terbatas, seperti ruku’ dan sujud. Kedua: berpengaruh, seperti member maaf dan murah hati.
Sementara rusaknya hati juga ada dua: pertama: terbatas, seperti ragu dan syirik. Kedua: berpengaruh pada lainnya, keinginan untuk melakukan kejahatan dan permusuhan.
Rusaknya raga juga ada dua: Pertama: terbatas, sepeti meninggalkan ibadah-ibadah terbatas. Kedua: adu domba dan tuduhan yang dusta.
Dan di antara kelembutan sifat Sang Maha Rahman adalah bahwa Dia tidak memerintahkan sesuatu pun kepada kita kecuali di dalamnya ada maslahat baik kebaikan dunia maupun akhirat atau salah satu di antaranya, dan tidaklah Dia melarang sesuatu kecuali dari sesuatu yang mengandung mafsadat (unsur-unsur merusak) untuk dunia maupun akhirat atau salah satu di antaranya.
Sedangkan maslahat itu adalah kelezatan atau penyababnya, kegembiraan atau penyebabnya. Sementara mafsadat adalah kepedihan atau penyebabnya, kesedihan atau penyebabnya. Maka, jika ada sebuah pekerjaan yang mencakup maslahat dan mafsadat, maka hendaknya dilakukan yang lebih kuat dari salah satunya. Jika keduanya sama-sama maka hendaklah dipilih salah satunya. Kebaikan itu dalam mendapatkan maslahat yang murni dan kuat, dan dalam menolak kemafsadatan yang murni dan kuat. Sementara kejahatan itu akan tercakup hanya dalam mencapai mafsadat yang murni atau kuat dan dalam menolak kebaikan yang murni dan kuat.
- Baca juga: Zuhud Itu Adanya di Hati
Adab Al-Qur’an
Akhlak Al-Qur’an itu ada dua: Pertama: Berakhlak dengan kekhususan ubudiyah, seperti rendah diri dan ketundukan. Kedua: Berakhlak dengan sebagian sifat rububiyah, seperti adil dan ihsan.
Sesungguhnya sifat Tuhan itu ada dua: Pertama: Yang husus baginya, seperti azaliyah, abadiyah dan ketidaktergantungannya pada alam semesta. Kedua: Sesuatu yang mungkin berakhlak dengannya, yang demikian itu ada dua:
Pertama: Sesuatu yang tidak mungkin berakhlak dengannya, seperti keagungan dan ketakaburan. Kedua: Disebutkan dalam syariat bahwa mungkin berakhlak dengannya, seperti murah hati, malu, sabar, dan memenuhi janji.
Berakhlak dengan yang sedemikian itu –sesuai dengan kemampuan—akan menjadikan Sang Maha Rahman ridha dan akan membuat setan jera. Berakhlak dengna cara seperti ini ditunjukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan kesepakatan ahli ma’rifah dan iman.
Bersambung…
Sumber: Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam. Syajaratul Ma’arif Tangga Menuju Ihsan, penj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020.