LADUNI.ID, Jakarta – Tulisan ini adalah isi dari kitab Syajaratul Ma’arif Bagian Kedua, karangan Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam, berisi tentang “Tata Cara Berakhlak dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah”. Selamat membaca.
***
Berakhlak pada hal ini memiliki tingkat, derajat dan jenjang. Dan mayoritas takhalluq itu terbagi dalam fardhu ‘ain, sunnah dan fardhu kifayah. Karenanya, baca dan perhatikanlah Asmaul Husna dan berakhlaklah dengan setiap nama itu dengan semua tuntunannya, dan lakukanlah dalam batas maksimal yang kita mampu.
Di antara nama-nama (asma) itu ada yang berada di antara dzati dan fi’li, seperti Rauuf dan Raahim.
Di antaranya ada yang berada di antara salbi dan fi’li, seperti As-Salaam.
Di antaranya ada yang berada di antara yang salbi dan yang mencakup pada yang salbi, dzati dan fi’li. Seperti Al-‘Azhim, Al-Jalil, Al-‘Ali, Al-A’la, Al-Kabiir, al-Muta’al.
Berikanlah apresiasi jalalah-Nya(keagungan-Nya) dengan sebaik-baik rasa sungkan (mahabah), sebab tidak ada keagungan seperti keagungan-Nya. Dan sikapilah apresiasi pada keindahanNya dengan kecintaan yang paling utama, sebab memang tidak ada keindahan seperti keindahan-Nya. Demikian pula, halnya berakhlak dengan semua sifat. Jika Anda berakhlak dengan “ihsan” maka hendaklah Anda melakukan kebaikan (ihsan) pada Siapa saja yang Anda mampu untuk melakukannya. Sebab, kedekatan Anda kepada Tuhan itu sesuai dengan cara Anda berakhlak dengan sifat-sifatNya,
خِتٰمُهٗ مِسْكٌ ۗوَفِيْ ذٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَۗ (٢٦)
Khitaamuhu miskun wafii dzaalika falyatanaafasi almutanaafisuuna
Artinya: “Laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba..” (Q.S. Al-Muthaffifin: 26).
Berakhlak dengan sifat Raja
Malik (raja) adalah yang memiliki kerajaan. Sementara kerajaan adalah kata perbuatan yang bersifat umum yang terikat dengan sifat adil dan ihsan dalam semua pemberian dan cegahan, dalam pertolongan dan penghancuran, dalam memberikan manfaat dan mudharat, dalam menurunkan dan menaikkan, dalam memuliakan dan menghinakan.
Buah dari mengetahui sifat ini adalah munculnya rasa_takut, munculnya harap, pengagungan, ketaatan dan kerendahan.
Adapun berakhlak dengan orang yang diuji dengan kerajaan (kekuasaan) itu adalah dengan mengikuti yang benar dari sumber-sumbernya. Mencegah orang yang memang pantas dicegah, mengangkat orang yang pantas di atas, mengecam orang yang pantas untuk dikecam, menekan orang yang pantas ditekan, memberikan mudharat bagi yang berhak menerima mudharat, memuliakan orang yang berhak dimuliakan. Membalas kepada orang yang memang pantas untuk mendapatkan balasan. Memberi makan pada yang lapar, memberi pakaian pada yang telanjang, memberikan minum pada yang haus, membantu orang yang dizhalimi dan diintimidasi. Mengambil harta sesuai dengan haknya, dan mengembalikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Maka Barangsiapa yang melakukan itu semua, “Allah akan memberikan naungan pada hari tidak ada naungan.”
“Orang-orang yang adil berada di mimbar-mimbar berupa cahaya di sisi kanan Sang Maha Rahman.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar We).
Nabi Sulaiman telah meminta kerajaan (kekuasaan) karena di dalamnya ada ada kebaikan dan ihsan. Hal yang serupa dengannya adalah apa yang dikatakan oleh Nabi Yusuf a.s,
قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ (٥٥)
Qaala ij’alnii ‘alaa khazaa-ini al-ardhi innii hafiizhun ‘aliimun
“Berkata Yusuf: Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Dia bersyukur atas apa yang Allah karuniakan kepadanya berupa kerajaan, “Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian takbir mimpi.” (Yusuf: 101).
Berakhlak dengan Sifat Al-Quddus
Al-Quddus maknanya adalah yang Mahasuci dari semua aib dan kekurangan.
Buah dari mengetahuinya adalah pengagungan dan pemuliaan. Sedangkan berakhlak dengannya adalah dengan menyucikan diri dari semua hal yang haram dan makruh, dari semua syubhat, dan selalu menghindari melakukan perbuatan mubah yang berlebihan yang menjadikan terlena dan lalai dari mengingat Tuhan.
Berakhlak dengan Sifat Salam
Jika salam bermakna penebaran rasa damai pada hamba-Nya maka itu artinya engkau menebarkan salam, karena sesungguhnya dia merupakan salah satu akhlak Islam yang mulia.
Jika salam bermakna selamat dari penyakit maka tentu engkau tidak bisa berakhlak dengannya.
Jika salam bermakna selamat dari semua aib, maka artinya sama dengan quddus.
Jika salam bermakna keselamatan hamba-hambaNya dari kezhalimanNya, maka itu artinya engkau jadikan manusia selamat dari kekejian dan kezhalimanmu, dari bahaya dan kejelekanmu. “Seorang muslim adalah yang menjadikan saudaranya muslim yang lain selamat dari kekejian lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr dan Abu Musa a.s.).
Berakhlak dengan Iman
Seorang mukmin (yang beriman) jika makna keimanan adalah pembenaran Allah atas dirinya, maka hendaknya dia beriman dengan segala yang diturunkan Sang Maha Rahman.
Jika iman diambil dari rasa aman hamba-hambaNya dari kezhaliman. Nya maka tampakkanlah dari semua kebaikan dan kebajikan yang membuat manusia merasa aman dari kejahatan dan kejelekanmu.
Jika iman adalah pencipta segala yang aman maka berusalah untuk memberikan rasa aman pada semua hamba Allah.
Berakhlak dengan Haimanah (kesaksian)
Al-Muhaimin adalah Asy-Syahid (Saksi). Jika bermakna kesaksianNya terhadap hamba-hambaNya, maka ini sama dengan makna AI-Bashir, Dan buahnya sama dengan buahnya, dan berakhlak dengannya sama dengan berakhlak dengan sifat bashar (melihat).
Buah dari mengetahuinya adalah munculnya rasa takutmu, rasa malumu dari pandangan Allah jika engkau bermaksiat pada-Nya. Dan sebaliknya, engkau akan senantiasa penuh harap akan kesaksianNya manakala engkau taat pada-Nya.
Sedangkan yang dimaksud dengan berakhlak dengannya adalah hendaknya engkau memberikan kesaksian terhadap semua hal yang mendatangkan manfaat dan mendatangkan mudharat, yang menyedihkan dan menggembirakan, walaupun atas dirimu sendiri, kedua orangtuamu dan kerabat-kerabatmu.
Berakhlak dengan Keperkasaan
Al-Aziz (Maha Perkasa) jika ia bermakna ghalabah (Yang mengalahkan), maka dia sama dengan Al-Qahhar. Adapun buah dari mengetahuinya adalah munculnya rasa takut kepada Allah.
Jika dia diambil dari makna mencegah dari kezhaliman maka tidak diperbolehkan berakhlak dengannya kecuali dalam beberapa hal yang bersifat paksaan terhadap orang-orang kafir dan durhaka.
Jika ia bermakna Dzat yang tidak suka akan keberadaan sesuatu yang serupa dengan-Nya maka itu bermakna ternafikan dari sesuatu yang sama dengan-Nya. Maka, tidak bisa berakhlak dengannya kecuali adanya kesatuan taat dan irfan (pengetahuan), sesuai dengan batas kemampuan.
Berakhlak dengan Sifat Al-Jabr
Buah dari mengetahui sifat ini adalah harapan akan perbaikan dari-Nya.
Sedangkan berakhlak dengannya adalah dengan cara berinteraksi dengan hamba-hambaNya dengan semua kebaikan, melakukan kebaikan, atau menyambung tali silaturahim dengan hamba-hambaNya.
Jika diambil dari kata ijbaar maka dia sama dengan sifat al-Qahhar (Yang Maha Perkasa).
Berakhlak dengan Takabbur dari Semua Kehinaan
Al-Mutakabbir, jika dia diambil dari kata takabbur dari semua kekurangan, maka dia sama dengan Al-Quddus, maka hendaknya engkau melahirkan sifat takabbur dari semua akhlak yang rendah.
Jika dia dianggap mencakup semua sifat maka buah mengetahuinya adalah pengagungan dan keseganan yang luar biasa dalam semua hal yang terjadi dalam semua sifat. Demikian pula dengan al-Azhim (Yang Mahabesar), Al-Jalil (Yang Mahaagung), Al-‘Aly dan Al-A’la (Yang Mahatinggi).
Sifat Yang Tidak Mungkin Berakhlak dengannya
Al-Khaliq, Al-Bari’, Al-Mushawwir (Yang Maha Mencipta), kita tidak mungkin berakhlak dengan salah satu dari sifat ini. Karena, menciptakan itu hanya milik Allah saja. Demikian pula dengan Ilaah, tidak mungkin berakhlak dengan sifat Ilahiyyah, sebab ilahiyyah adalah hak untuk disembah sedangkan ubudiyah itu adalah sikap taat dengan merendahkan diri. Dan hak beribadah hanya ditujukan kepada Pencipta seluruh semesta, dan yang mengurus zaman.
Berakhlak dengan sifat Ra’fah dan Rahmat
Ar-Rauuf ar-Rahiim, adalah Dzat yang memperlakukan hamba-hambaNya dengan semua sikap kasih dan sayang.
Sedangkan buah dari mengetahui sifat ini adalah pengharapan atas kelembutan-Nya.
Adapun cara berakhlak dengan keduanya adalah memberikan kasih pada setiap orang yang berhak mendapatkan kasih sayang darimu, bahkan sampai pada lalat dan binatang-binatang kecil. Sebab “Dalam setiap jantung yang basah itu ada pahala’” (HR. Al-Bukhari 2363, Muslim 2244, dari Abu Hurairah az ).
Berakhlak dengan Sifat Ghaffar
Al-Ghaffar maknanya adalah As-Sattar yang menutupi semua aib dan yang memberi ampunan atas semua dosa.
Sedangkan buah dari mengetahuinya adalah harapan akan ampunanNya dan akan ditutupinya dosa-dosa.
Berakhlak dengannya adalah dengan cara menutupi aib manusia dan memberi maaf terhadap kesalahan-kesalahan orang lain. Maka janganlah engkau sekali-kalimenampakkan aibmu dan jangan pula menginformasikan dosa-dosamu, karena sesungguhnya menginformasikan dosa-dosa itu membuat Tuhan Yang Maha Tahu segala yang ghaib menjadi murka.
Berakhlak dengan Al-Qahhar
Al-Qahhar adalah Maha Perkasa dalam melakukan apa yang Dia inginkan. Sedangkan buah dari mengetahuinya adalah rasa takut yang menyeluruh dan rasa segan yang sempurna. Maksud dari berakhlak dengannya adalah hendaknya engkau menekan dirimu dan musuhmu dan setiap orang yang menghambatmu dalam melakukan perbaikan atas akhiratmu dan untuk melakukan ketaatan pada Tuhanmu.
___________________________________
Sumber: Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam. Syajaratul Ma’arif Tangga Menuju Ihsan, penj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020.