LADUNI.ID, Jakarta – Sholat tasbih merupakan salah satu sholat sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW dan memiliki keutamaan yang sangat besar bagi siapa saja yang mengamalkannya.
Sholat tasbih adalah sholat sunnah yang di dalamnya banyak mengandung bacaan tasbih ‘Subhanallah wal hamdu lillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar‘, banyak kaum Muslim yang kurang akrab dengan sholat tasbih ini. Mereka hanya tahu tata cara sholat tahajud atau dhuha saja.
Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki di dalam kitabnya Syaraful Ummah Al-Muhammadiyyah menuturkan, bahwa sebagian dari kemuliaan umat Nabi Muhammad adalah Allah mengkhususkan shalat tasbih bagi mereka.
Baca Juga: Tata cara sholat Tasbih
Manfaat dan keistimewaan sholat tasbih sangat besar karena dalam Alquran banyak sekali perintah agar kita bertasbih kepada Allah SWT, besarnya kemuliaan yang ada pada shalat tasbih tersurat dalam sebuah hadits yang banyak dijadikan rujukan para ulama dalam menetapkan status hukum shalat tasbih. Hadits tersebut salah satunya diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَنَّ «النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: ” يَا عَبَّاسُ! يَا عَمَّاهُ! أَلَا أُعْطِيكَ؟ أَلَا أَمْنَحُكَ؟ أَلَا أحبوكَ؟ أَلَا أَفْعَلُ بِكَ؟ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ، غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ، خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ، صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ، سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ: أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً، فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ، قُلْتَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ تَرْكَعُ، فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا، فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ، إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ، فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمْرِكَ مَرَّة
Artinya: “Dari Abdullah bin Abbas radliyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abbas bin Abdul Muthalib, “Wahai Abbas, pamanku, tidakkah aku memberimu? Tidakkah aku memberi tahumu? Tidakkah aku lakukan kepadamu? Sepuluh perkara bila engkau melakukannya maka Allah ampuni dosamu; yang awal dan yang akhir, yang lama dan yang baru, yang tak dilakukan karena kesalahan dan yang disengaja, yang kecil dan yang besar, yang sembunyi-sembunyi dan yang terang-terangan. Lakukanlah shalat empat rakaat, pada setiap rakaat engkau membaca Al-Fatihah dan surat lainnya. Ketika engkau telah selesai membaca di rakaat pertama dan engkau masih dalam keadaan berdiri engkau ucapkan subhânallâh wal hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar lima belas kali. Kemudian engkau ruku’, ucapkan kalimat itu sepuluh kali saat kau ruku’. Kemudian engkau angkat kepalamu dari ruku’ (i’tidal), engkau baca kalimat itu sepuluh kali. Kemudian engkau turun bersujud, kau baca kalimat itu sepuluh kali dalam bersujud. Kemudian engkau angkat kepalamu dari bersujud, egkau baca kalimat itu sepuluh kali. Kemudian engkau bersujud (yang kedua), engkau baca kalimat tu sepuluh kali. Kemudian engkau angkat kepala, engkau baca kalimat itu sepuluh kali. Itu semua ada tujuh puluh lima dalam setiap rakaat. Engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Bila engkau mampu melakukannya setiap sehari sekali maka lakukanlah. Bila tidak maka lakukan setiap satu jum’at sekali. Bila tidak maka setiap satu bula sekali. Bila tidak maka setiap satu tahun sekali. Bila tidak maka dalam seumur hidupmu lakukan sekali.”
Secara tekstual dari hadits di atas Rasulullah telah menjelaskan keutamaan yang begitu besar dalam shalat tasbih. Dengan empat rakaat shalat tasbih semua dosa yang dilakukan oleh orang yang mengamalkannya diampuni oleh Allah. Ini bisa disimpulkan dari ungkapan Rasulullah yang memerinci secara detail sifat-sifat dosa yang diampuni; awal dan akhir, sengaja dan tidak sengaja, kecil dan besar, sembunyi dan terang-terangan. Bahkan Sayid Muhammad Al-Maliki menyebutkan bahwa dosa besar pun dapat terampuni hanya dengan melakukan shalat tasbih ini. Hanya saja beliau juga menggarisbawahi bahwa pengampunan itu apabila pelaksanaan shalat tasbih tersebut dibarengi dengan pemenuhan syarat-syarat bertobat yang terdiri dari istighfar (meminta ampun), penyesalan, dan tekad kuat untuk tidak mengulangi.
Dalam kitab Syaraful Ummah Al-Muhammadiyyah Sayid Muhammad Al-Maliki menyatakan:
يدل بظاهره على ان الكبائر تغفر بمجرد فعل هذه الصلاة. وهو محمول على ما اذا اقترنت ببقية شروط التوبة من الاستغفار والندم والعزم على عدم العود
Artinya: “Secara dhahir hadits itu menunjukkan bahwa dosa-dosa besar terampuni hanya dengan melakukan shalat tasbih ini. Itu bisa dipahami apabila shalat tasbih itu dibarengi dengan syarat-syarat bertaubat yang terdiri dari memohon ampunan, menyesali, dan tekad kuat untuk tidak mengulangi.” (Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki, Syaraful Ummah Al-Muhammadiyyah, 1985, tanpa penerbit, hal. 101)
Hanya saja—masih menurut beliau—dosa-dosa yang diampuni ini tidak mencakup dosa-dosa yang berkaitan dengan hak-hak sesama hamba, hanya dosa-dosa yang berkaitan dengan hak-haknya Allah saja.
Besarnya keutamaan shalat tasbih juga bisa dilihat dari kalimat Rasulullah dalam menganjurkan melakukan shalat sunah ini. Secara runtut beliau menganjurkan agar shalat tasbih ini dilakukan sehari sekali, bila tidak mampu maka seminggu sekali, sebulan sekali, setahun sekali, hingga setidaknya sekali seumur hidup.
Imam As-Subki—sebagaimana dikutip Al-Haitami—menyatakan bahwa tidaklah orang yang mendengar tentang keutamaan shalat tasbih namun ia meninggalkannya (tidak melakukannya) kecuali orang itu adalah orang yang merendahkan agama (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhâjul Qawîm, Beirut, Darul Fikr, tt., hal. 203).