Di tengah pekatnya malam, perempuan-perempuan tua yang bergegas ke pasar bagai goresan-goresan pena pada kanfas hitam, membentuk sketsa abstrak nan kabur, yang ditingkahi suara kokok ayam. Air mengalir bening di Kalitakir, meliuk-liuk di antara bongkahan-bongkahan batu sebesar gajah, dan terus mengalir hingga jauh, menembus dada, bergemericik putih di hati, menjelma bengawan nan panjang. Hamparan sawah yang menghijau. Pohon-pohon karet dan coklat yang rimbun. Dan lihatlah banjaran Gunung Raung yang kokoh, laksana raksasa tidur, membujur panjang dari timur ke barat, dalam balutan halimun dini hari.
Sedini itu Glenmore, sebuah desa kecil di kaki Gunung Raung, mulai menggeliat bangun. Para pedagang, laki dan perempuan, sudah menggelar dagangannya di depan pasar dan pinggiran jalan raya. Hawa dingin pegunungan yang menusuk tak menghalangi mereka untuk melakukan transaksi.
Sebentar lagi mereka menyantap sarapan nasi pecel dengan lauk kerupuk dan rempeyek kedelai. Nikmat. Atau dengan sayur lodeh pakis. Mungkin pula menu tradisional lainnya.
Glenmore. Ini bukan nama kota kecil di Belanda. Atau taman nasional seluas 5.000 ha. yang indah di kaki bukit di Cairngorm Mountains, sebuah desa sunyi di Skotlandia (Inggris). Atau tempat-tempat wisata, hotel dan mansion di Amerika Serikat. Bukan pula nama dam di Calgary, Alberta. Tempat-tempat yang menjanjikan keindahan, kenyamanan alam pegunungan serta pedesaan, berikut nikmatnya bermain golf, ski, pendakian dan semacamnya.
Ai, kata glenmore bagi orang-orang bule itu, rupanya, nama yang eksotis. Banyak tempat yang menawarkan keindahan natural dinamai dengan kata tersebut, yang secara harfiyah berarti “lembah kecil yang hebat”.
Tetapi Glenmore yang kita bicarakan ini tidak berada di sono yang jauh itu. Ini adalah nama kota kecil, kota kecamatan, yang terletak sekitar 50 km. sebelah barat kota Banyuwangi. Di sini tidak ada lapangan golf, pacuan kuda, apalagi arena ski. Tetapi banyak turis bule yang belakangan suka datang ke sini karena alamnya masih relatif perawan.
Glenmore memang masih dikepung rimbunnya pohon-pohon karet, coklat, kopi, kelapa dan semacamnya. Pemerintah Hindia Belanda telah menyulap daerah ini menjadi daerah perkebunan. Dan mungkin karena melihat daerahnya yang eksotis, dengan dataran tinggi, ngarai, sungai dan lembah-lembah, mereka menamainya Glenmore.
Di daerah inilah, persisnya di desa Sepanjang Wetan, KH. Achmad Qusyairi menghabiskan masa-masa tuanya. Meski sebenarnya beliau lebih lama tinggal di kota Pasuruan (Jawa Timur) dan malah wafat di sana, beliau lebih dikenal sebagai ulama Glenmore lantaran tempat mukim beliau yang terakhir adalah di desa tersebut.
Tentu, mana ada daerah berpenghuni yang diam tak bergerak? Glenmore juga tidak diam seperti diamnya “batu gudang” di Gunung Gending (Gunung Gumiter), yang terletak sekitar 25 km. di sebelah baratnya. Tiga puluh tahun lebih setelah ditinggalkan oleh KH. Achmad Qusyairi, di Glenmore kini telah berdiri tempat-tempat modern semacam hotel (tepatnya wisma), ruko dan minimarket. Gedung-gedung dan rumah-rumah sudah banyak pula yang dipugar dengan arsitektur modern. Mobil dan sepeda motor bukan lagi kendaraan yang langka di rumah-rumah penduduk. Tak sedikit bangunan warisan Belanda banyak yang sudah mengalami renovasi, atau malah pembongkaran.
Meski demikian, pada umumnya Glenmore masih seperti yang dulu. Setidaknya, Glenmore sekarang tidak terlalu bikin pangling bagi orang yang pernah mengunjunginya puluhan tahun lalu. Terutama bila Anda datang ke tempat itu dengan moda kereta api. Stasiunnya masih yang dulu. Tata nilai dan budaya penduduknya relatif masih yang dulu, meski ada nilai-nilai baru dari luar yang mulai merasuk, khususnya pada generasi muda. Di samping itu, mereka masih mengenang nama Kiai Achmad Qusyairi sebagai figur ulama mereka, yang mereka kenal sebagai Kiai Achmad, Kiai Sepoh (dalam bahasa Madura) atau Kiai Sepuh (dalam bahasa Jawa).
Kisah Lailatul Qadar
Kiai Ahmad Qusyairi sebenarnya datang dari jauh. Beliau lahir di Lasem (Sumbergirang) Sabtu Pon 11 Sya’ban 1311 H atau 17 Pebruari 1894 M. Beliau adalah putra keempat dari 23 orang bersaudara. Ayahanda beliau, KH. Muhammad Shiddiq, dikaruniai 23 anak dari tiga orang istri: Nyai Maimunah (Masmunah?), Nyai Zaqiyah (Siti Maryam?) dan Nyai Siti Mardhiyah. Dengan Nyai Maimunah beliau dianugerahi tujuh anak, dengan Nyai Zaqiyah dikaruniai sembilan anak dan dengan Nyai Siti Mardhiyah tujuh anak. Kiai Achmad Qusyairi adalah putra beliau dari istri pertama.
Mengingat keterbatasan sumber, tak banyak yang bisa diungkap dari masa kecil Kiai Achmad. Tetapi yang pasti, sejak usia dini beliau sudah dikirim ke pesantren oleh ayahandanya. Beliau berpindah dari satu pondok ke pondok lainnya. Antara lain, pernah menimba ilmu di Langitan (Tuban), di Kajen (Pati) semasih diasuh Kiai Khozin, dan Semarang (Kiai Umar). Tetapi yang paling fenomenal adalah belajar beliau di Bangkalan, yakni di pondok Syaikhuna KH. Kholil.
Kiai Kholil adalah ulama besar. Seorang waliyullah. Ada yang menyebut, beliau adalah wali kutub. Banyak santri beliau yang menjadi wali dan kiai besar. Kepada beliaulah ayahanda KH. Muhammad Shiddiq menimba ilmu dan amaliyah. Kemudian, setelah berkeluarga, beliau mengirimkan putra-putranya di sana, termasuk Kiai Achmad Qusyairi. Kelak, Kiai Achmad Qusyairi juga menitipkan putra sulung beliau, KH. Ridlwan, untuk mengais ilmu dari barokah dari sang wali kutub.
Menurut KH. Hasan Abdillah Glenmore, Kiai Achmad Qusyairi nyantri kepada Kiai Kholil saat masih remaja (pasca baligh). Suatu kali, di bulan Ramadhan, Kiai Kholil menyuruh para santri supaya tidak tidur di malam hari. Katanya, “Ayo cari Lailatul Qadar.” Maksudnya, mereka disuruh beribadah malam supaya mendapat barokah dari malam yang sangat mulia itu.
Kiai Achmad Qusyairi termasuk di antara santri yang juga mencari Lailatul Qadar. Tetapi beliau salah sangka. Beliau mengira, Lailatul Qadar itu benda kongkret. Malam itu beliau mencarinya ke sana kemari namun hasilnya, tentu saja, nihil. Pulang ke pesantren beliau dilanda kecapekan, lantas tertidur pulas.
Pada dini hari, Kiai Kholil berkeliling pesantren. Tujuanya, untuk mengawasi para santri. Tiba-tiba beliau melihat seberkas cahaya pada tubuh kecil seorang santri. Beliau mendekati sosok kecil itu lantas mengikat ujung sarungnya (dibikin simpul mati), sebagai tanda. Paginya, seusai salat subuh, beliau membuat pengumuman. “Ayo, siapa yang di sarungnya ada tali simpul?”
Tak ada santri yang menjawab. Si empunya simpul pun tak menjawab karena takut. Dia merasa bersalah karena tidur pulas tadi malam, padahal disuruh begadang.
“Kalau tak ada yang mau mengaku, ya sudah!” kata Kiai Kholil dengan nada keras.
Dengan takut-takut seorang santri yang masih kecil mengacungkan jarinya. “Saya,” katanya. Ternyata dia santri bernama Achmad Qusyairi.
Marahkah Kiai Kholil, yang dikenal berperangai keras itu? Tidak. Beliau justru berkata, “Mulai sekarang para santri tak usah mengaji padaku. Cukup kepada Achmad Qusyairi.”
Kita tidak tahu persis (para sumber kita juga tidak tahu) apakah setelah kejadian itu beliau langsung pulang. Tetapi kami menduga beliau tidak langsung pulang. Beliau masih terus menimba ilmu hingga beberapa tahun.
Menikah
Ketika Kiai Achmad masih kecil, ayahanda beliau berpindah ke Jember. Konon, kepindahan itu dikarenakan isyarat dari Rasulullah s.a.w. melalui mimpi. Mimpi itu mengisyaratkan supaya beliau berpindah ke timur untuk berdakwah. Jember pun menjadi pilihan karena itulah yang diperintahkan oleh KH. Kholil Bangkalan, guru beliau. “Kiai Shiddiq jembar,” katanya saat santrinya itu singgah dalam perjalanan ke timur.
Kebetulan Jember saat itu merupakan daerah gersang dari sisi dakwah. Penduduknya masih banyak yang tidak beragama atau beragama Hindu-Budha. (baca: “Biografi Mbah Shiddiq” oleh Afton Ilman)
Di kota ini ada seorang saudagar kaya bernama H. Alwi. Dia memiliki lima buah pabrik selep beras dan 35 rumah besar. Dia sangat akrab dengan Kiai Shiddiq. Bahkan, tanah tempat berdirinya pesantren serta rumah Kiai Shiddiq di Talangsari adalah hasil waqaf dari H. Alwi.
H. Alwi rupanya menyimpan kesan mendalam kepada pemuda Achmad Qusyairi, putra kiai yang dikaguminya itu. Begitu terkesannya sehingga dia menuruti apa yang dikatakan oleh pemuda itu. Misalnya, seperti dituturkan Kiai Hasan Abdillah, pemuda Achmad Qusyairi menyarankan kepada H. Alwi supaya mengeluarkan zakat mal untuk hartanya yang berlimpah itu. “Ini harus dizakati,” katanya. “Baik,” jawab si saudagar.
H. Alwi tidak hanya mengamini, tapi juga menyerahkan soal perhitungan zakatnya kepada Kiai Achmad, dan Kiai Achmad menjalankan tugas itu dengan baik setiap tahunnya.
Alhasil, keduanya sudah seperti anggota keluarga. Seperti bapak dan anak. Guna lebih melanggengkan hubungan keluarga tersebut, H. Alwi meminang pemuda Achmad Qusyairi untuk menjadi menantunya.
Tetapi manusia hanya bisa berencana, dan Allah yang menentukan. Pemuda Achmad Qusyairi urung jadi menantu H. Alwi karena dijodohkan ayahandanya dengan putri KH. Yasin bin Rois Pasuruan. Bagaimana ceritanya?
Begini. Kiai Shiddiq, abah beliau, telah menjalin hubungan pertemanan dengan Habib Alwi bin Segaf As-Segaf Pasuruan melalui hubungan dagang. Keduanya memang sama-sama pedagang, tapi juga sama-sama wali. Dari Habib Alwi, Kiai Shiddiq mengenal Kiai Yasin bin Rois, seorang kiai besar pengasuh Pesantren Salafiyah yang terletak di desa Kebonsari, Pasuruan. Suatu kali, ketika Kiai Shiddiq bersama pemuda Achmad Qusyairi mengunjungi Habib Alwi, sang Habib menawarkan untuk menjodohkan putra Kiai Shiddiq itu dengan putri Kiai Yasin. Kiai Shiddiq menyatakan setuju. Kiai Yasin juga sepakat. Singkat cerita, pemuda Achmad Qusyairi dinikahkan dengan Fatmah binti Kiai Yasin bin Rais.
Akan halnya H. Alwi, tentu saja dia merasa kaget. Dia lalu menuntut kepada Kiai Achmad supaya mencarikan ganti beliau. Kiai Achmad menawarkan iparnya, Kiai Muhammad bin Yasin. H. Alwi merasa cocok, begitu pula di pihak pria. Maka dilangsungkanlah pernikahan antara Kiai Muhammad dan putri H. Alwi.
Malu
Kiai Achmad menikah dalam usia 19-20 tahun. Beliau merasa malu karena istri beliau, yang usianya lebih tua satu tahun, sudah hafal seluruh Al-Quran. Selama ini Kiai Achmad memang tidak pernah menghafalkan Al-Quran. Waktunya habis untuk menimba dan menimba ilmu.
Rasa malu tadi melecut beliau. Setahun setelah pernikahan, beliau berangkat ke kota suci Mekah guna menghafalkan Al-Quran di sana. Alhamdulillah, dalam waktu tiga bulan beliau berhasil menghafalkan 30 juz Al-Quran.
Pulang ke Indonesia, beberapa kali beliau kembali ke Mekah untuk beribadah haji dan menimba ilmu. Suatu kali, beliau sedang berada di Mekah. Tiba-tiba Perang Dunia I meletus. Beliau tidak bisa pulang. Apa boleh buat. Beliau pun bermukim di tanah suci itu selama lima tahun. Di sana beliau menjalin hubungan dengan Syekh. Lima tahun kemudian, sepulang dari sana, beliau menjadi badal (wakil atau agen) dari syekh tersebut.
Syekh adalah julukan bagi orang-orang yang bertindak sebagai host atau rumah bagi para jamaah haji. Mereka mengorganisasikan perjalanan ibadah haji para jamaah selama di tanah suci, sejak kedatangan hingga kepulangan mereka serta menyediakan akomodasi dan berbagai fasilitas yang diperlukan. Para syekh itu memiliki wakil atau agen di Indonesia, yang disebut Badal Syekh. Peran Badal Syekh ini mirip dengan yang dijalankan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) sekarang: dari mencari jamaah, mendaftarkan mereka di Jakarta (segala dokumen haji kala itu harus diurus di kantor pusat di ibukota), dan mengurus keberangkatan mereka.
Lebih kurang, itulah pula yang dilakukan oleh Kiai Achmad. Para calon jamaah haji mendaftar kepada beliau, lalu beliau mengurus segala keperluan mereka dan mengantar mereka hingga ke kapal. Para calon jamaah haji itu, yang datang dari berbagai desa di kota dan kabupaten Pasuruan, berkumpul di Pesantren Salafiyah. Dari sana mereka naik dokar ke Pelabuhan Pasuruan. Karena kapal yang mengangkut mereka tidak bisa sandar di tepian, maka dari pelabuhan mereka diangkut dengan perahu kecil ke tengah laut.
Kiai Achmad biasanya ikut naik pula ke perahu kecil itu, guna memastikan tiada masalah pada para calon jamaah tersebut: entah itu soal tiket ataupun soal berbagai dokumen perjalanan. Terkadang, menurut Kiai Hasan Abdillah, beliau tidak hanya mengantar sampai ke kapal, tapi juga sampai ke Mekah. Pasalnya, kapten kapal yang terkesan oleh penampilan dan bahasa Belanda beliau, lalu mengajak beliau untuk ikut ke Jeddah, tanpa paspor.
Di samping menjadi Badal Syekh, beliau juga membuka usaha di bidang peralatan dokar. Tepatnya, beliau menjual suku cadang dan peralatan dokar. Adapun tokonya terletak di selatan Masjid Agung Pasuruan, dan diberi nama “Pasoeroeansche Dokar Handel”.
Beliau juga mengajar. Cukup banyak pengajian yang beliau gelar, baik di lingkungan pondok Pesantren Salafiyah maupun di luarnya. Entah itu di kota Pasuruan maupun di luar kota, seperti di desa Winongan (Kabupaten Pasuruan) dan kota Gresik.
Selama di Pasuruan beliau tinggal di lingkungan pondok pesantren Salafiyah. Tepatnya di sayap kiri rumah mertua beliau, Kiai Yasin. Adalah Kiai Yasin yang menyuruh beliau supaya membangun “sayap” tersebut, yang menempel di rumah sang mertua. Kemudian pada dasawarsa 1930-an, beliau membangun rumah di sebelah kanan rumah Kiai Yasin, yakni rumah yang kelak ditempati oleh menantu beliau, KH. Hamid.
Menurut KH. Hasan Abdillah, Kiai Achmad merupakan menantu yang disayang oleh Kiai Yasin. Maklum, antara keduanya ada kesamaan prinsip. Beliau tidak hanya disuruh membangun rumah yang menempel pada rumah Kiai Yasin, tapi juga dipercaya untuk mengajar di pondok. Peran sebagai pengajar dan pengurus pondok terus beliau pegang sepeninggal mertua beliau dan tongkat estafeta kepengasuhan pondok berpindah ke KH. Muhammad bin Yasin, putra Kiai Yasin.
Tetapi beliau tidak hanya mengajar di lingkungan pesantren. Beliau juga mengajar di tempat-tempat lain, seperti di Winongan (Kabupaten Pasuruan), Gresik, Madura dan lain-lain. Belakangan, seperti dituturkan KH. Abdur Rohman Ahmad, beliau tidak mengajar lagi di Gresik, tetapi orang-orang Gresik yang datang ke Pesantren Salafiyah Pasuruan untuk mengikuti pengajian beliau.
Dicalonkan Jadi Bupati
Sekitar tahun 1945-1946 beliau berpindah tempat tinggal: dari Pasuruan ke Kabupaten Jember. Tepatnya di Jatian, sebuah desa pedalaman, sekitar 15 km. sebelah timur kota Jember. Mengapa berhijrah?
Ada dua versi. Versi pertama diungkapkan oleh Kiai Hasan Abdillah. Katanya, Kiai Achmad berhijrah karena enggan dicalonkan menjadi bupati Pasuruan. Kala itu para kiai se-Pasuruan yang berkumpul di Masjid Agung Pasuruan sepakat menunjuk Kiai Achmad sebagai calon bupati.
Versi kedua diungkapkan oleh Ibu Nyai Hajjah Zainab, istri Kiai Achmad. Kepada al-faqir Nyai Zainab mengutip kata-kata Kiai Achmad bahwa beliau berpindah ke Jatian karena dikejar-kejar oleh Belanda. “Jatian itu kan desa pelosok, jadi cocok untuk tempat sembunyi,” ujar Nyai Zainab.
Tentang pencalonan Kiai Achmad sebagai bupati, ada pula kesaksian dari KH. Abdur Rahman Ahmad. “Aku juga mendengar waktu itu Abah dicalonkan di masjid karena Abah masih keturunan Mbah Surga Surgi,” ucapnya.
Kiai Abdur Rahman saat itu masih menjadi seorang pemuda tanggung berusia sekitar 14-15 tahun. Kalau Kiai Abdur Rahman yang masih muda mendengar kabar tersebut, berarti kabar itu sudah menjadi pembicaraan umum. Dan karena sudah menjadi konsumsi umum, sangat wajar bila ada tambahan bumbu-bumbu, seperti bumbu bahwa Kiai Achmad adalah keturunan Mbah Surga Surgi (trah ningrat yang menurunkan para bupati Pasuruan), padahal tidak.
Sayang, alfaqir tidak mendapatkan data tertulis mengenai pencalonan tadi. Pertama, karena pencalonan itu merupakan keputusan ulama, bukan sesuatu yang diputuskan instansi formal. Kami menduga, para ulama kala itu belum memiliki tradisi mengarsipkan hasil-hasil rapat mereka. Kedua, kondisi saat itu begitu kacau, sehingga kalaupun ada, dokumen itu bisa jadi hilang.
Toh sejarawan Pasuruan dari P3GI, yang juga penulis buku “Hari Jadi Kota Pasuruan”, Untung Sutjahjo, tidak menepis kemungkinan adanya rapat demikian. Berikut ini kutipan kata-katanya kepada alfaqir:
“Adanya rapat untuk mengajukan seorang calon adipati sangat mungkin terjadi. Lebih-lebih, hubungan umaro-ulama sangat erat kala itu. Masjidnya adalah masjid Kiai Kanjeng. Masjid Agung adalah tempat membahas pula persoalan pemerintahan tertentu. Tetapi saya menduga, rapat itu diadakan secara sembunyi-sembunyi. Sebab, kondisi Pasuruan (dan di kota-kota lain) pada 1945 kacau sekali. Tidak aman. Belanda, pasca-terusirnya Jepang, sangat ketat mengawasi setiap gerakan atau perkumpulan. Karena itu, rapat mungkin diadakan sembunyi-sembunyi. Dan karena diadakan secara sembunyi-sembunyi, sangat boleh jadi dokumennya tidak ada. Pencalonan itu mungkin saja membuat marah Belanda. Jadi, sangat pantas kalau KH. Ahmad Qusyairi dicari oleh Belanda.”
(Dalam catatan sejarah, Adipati R. Rumenggung Ario memerintah mulai 1936 hingga 1945. Selanjutnya, tampuk kepemimpinan berpindah kepada Adipati R. Soedjono. Berarti pada 1945 memang terjadi suksesi kepemimpinan, entah karena desakan rakyat ataukah karena masa baktinya telah berakhir.
Tetapi kalau kita perhatikan, masa bakti para adipati tidak sama. Kepemimpinan R. Tumenggun, misalnya, berlangsung selama 9 tahun, sedang adipati sebelumnya, R.A.A. Harsono, hanya memerintah selama tiga tahun.)
Mengenai seberapa kacaunya Pasuruan (dan kota-kota lain) pada saat itu, hal itu bisa kita simak pada penuturan Soetjipto, seorang veteran perang yang tinggal di Jalan Mawar Pasuruan. Dia lahir tanggal 2 Pebruari 1925:
“Saya dulu sekolah di HIS Bangilan, dekat alun-alun kota Pasuruan. Lalu meneruskan di MILO Probolinggo. Karena di Pasuruan tidak ada MILO. Baru lima bulan sekolah, pecah perang.
Pada saat proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, kita tidak tahu menahu. Baru setelah itu ada pemberitahuan. Lalu pemerintah membentuk tentara. Saya ikut. Saya menjadi kepala.
Pada saat itu, khususnya ketika Belanda hendak mendarat di Surabaya, orang-orang tergerak untuk menjadi tentara. Terbentuklah pasukan-pasukan. Ada tentara reguler (TNI). Ada pula tentara nonreguler. Tentara kedua ini terbentuk begitu saja. Tidak teratur. Saya pernah mendengar (mungkin salah mungkin benar), KH. Ahmad Qusyairi memimpin pasukan. Namun, jangan bayangkan pasukan itu ada barisannya. Itu tidak teratur. Kalau ada serangan, pemimpin itulah yang mengkomando.
Tetapi saya tidak pernah bertemu dengan beliau. Wong saya golongannya lain. (Beliau golongan santri, Soetjipto bukan santri, sehingga bukan satu komunitas.) Orang-orang berangkat sendiri-sendiri ke Surabaya. Tanpa komando, tanpa koordinasi. Dari Pasuruan, Jember, Probolinggo, Malang, Mojokerto dan lain-lain. Banyak dari mereka yang mati. Mereka adalah orang-orang yang berani mati.
Dalam pasukan itu ada dua macam. Orang bodoh tapi berani nyerang dengan segala risiko. Ada yang pintar, tidak berani nyerang. Mereka memakai perhitungan. Pada saat Jepang datang, orang Belanda sudah habis di pasuruan. Gemente dikuasai. Pabrik-pabrik gula dikuasai semua oleh orang Jawa. Tapi mereka tidak tahu caranya memenej yang benar.
Pada pascaproklamasi, orang-orang berangkat ke Surabaya. Yakni untuk membendung Belanda yang hendak kembali. Terus terang, kita kalah terus. Kita terus mundur. Kita terdesak ke Sidoarjo. Lalu terdesak lagi ke Porong. Lalu ke Pandaan. Terjadi pertempuran hebat. Kita terus mundur, hingga Belanda berhasil masuk ke Malang. Kami pernah ke Purwodadi untuk menyerang Belanda, dan dengan tujuan memutus kabel telpon Malang-Surabaya. Tapi keburu diserang lewat udara. Dibombardir pesawat. Rupanya ada mata-mata.
Pada akhirnya Pasuruan juga dikuasai Belanda. Banyak Belanda di sini. Pasuruan dikuasai oleh KNIL. Sebenarnya juga banyak cecunguk-cecunguk Belanda. Mereka orang Jawa tapi hatinya Belanda. Mereka merasa enak di bawah Belanda.
Nah, kalau pada siang hari Pasuruan dikuasai KNIL, malam hari dikuasai pribumi. Tentara gerilya. Hampir semua orang bergerilya. Ada Belanda lewat diserang, dibunuh. Ada cecunguk Belanda, dibunuh. Pernah ada Pak Carik, hendak membeli kambing. Ketemu teman-teman, dia digeledah, ditemukan korek api dengan bendera merah-putih-hijau, langsung dia dibunuh. Ada Pak Lurah, punya kambing 12 ekor. Tiga ekor diambil, disembelih, kepalanya dikasihkan ke saya. Kondisinya memang kacau.
Nah, pada malam hari itu kita bergerilya. Kita serang kantor polisi. Sebab, banyak polisi yang hatinya Belanda, meski orang Jawa. Kita serang kantor-kantor lain. Bahkan juga kepala desa atau aparat lain yang dianggap antek Belanda. Terkadang kita membakar.
Kalau Kiai Ahmad Qusyairi dicalonkan menjadi bupati, itu bisa saja terjadi. Sebab, waktu itu kita memang hendak menguasai semua. Kita tidak bisa berperang. Senjata kita juga apa adanya. Ada pula senjata api, tapi tidak banyak. Kita bikin pasukan maling untuk mencuri senjata milik Belanda.”
Yang hendak dikatakan ialah, pada saat itu terjadi kekacauan yang luar biasa. Di samping itu, ketika orang-orang mengetahui adanya proklamasi kemerdekaan, dan mereka melihat orang-orang Jepang berkemas, bukan mustahil Pasuruan juga mengalami eforia sebagaimana yang meluas di berbagai daerah. Yakni eforia yang, sebagaimana kita saksikan pada saat munculnya fajar reformasi dulu, memicu suatu semangat untuk menjebol segala yang ada dan menggantinya dengan yang baru sama sekali. Seperti dilaporkan di sejumlah daerah (seperti di Tegal), orang-orang beramai-ramai mendongkel penguasa lama yang dianggap berbau penjajah (meski dia sendiri orang pribumi) dan menggantinya dengan orang baru. Pasuruan mungkin saja mengalami hal serupa.
Pertanyaannya, mengapa Kiai Achmad Qusyairi? Tampaknya beliau dipandang memiliki dua macam kompetensi sekaligus: ahli ilmu agama dan sekaligus mumpuni di bidang umum. Paling tidak, mereka menilainya dari kemampuan beliau berkomunikasi dengan bahasa Belanda dan Jepang. Beliau juga cukup fasih berbahasa Indonesia. Beliau sudah akrab dengan cara-cara yang cukup modern dipandang dari ukuran saat itu. Misalnya, berkomunikasi lisan dan tulis (lewat surat) dengan kapten kapal (yang semuanya orang Belanda tulen), para pejabat pemerintahan kolonial dan lain-lain. Beliau juga piawai menyusun untaian kata-kata indah dalam bentuk buku, risalah (karangan singkat) dan surat undangan — termasuk dalam bahasa Indonesia. Bahkan, di zaman “sedini” itu, beliau sudah memiliki kartu pos khusus dengan kop usaha atau toko peralatan dokar beliau. Tak kalah pentingnya ialah, beliau sudah biasa mengurus pemberangkatan haji, yang tidak hanya memerlukan keahlian khusus di bidang manajemen dan administrasi, tetapi juga juga mobilitas yang tinggi serta kemampuan lobi serta kedekatan dengan pejabat-pejabat pusat. Makanya, tidak heran jika beliau pernah diminta oleh Jepang untuk menjadi penghulu, tetapi beliau menolak.
Bisa saja pencalonan itu membuat marah orang-orang Belanda. Itulah sebabnya, beliau termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda.
Dengan demikian, kedua faktor tadi sama benarnya untuk menjelaskan kepindahan beliau dari Pasuruan ke Jatian. Walaupun demikian, seperti dikatakan oleh Kiai Hasan Abdillah, beliau menolak menjadi bupati karena beliau adalah orang yang tidak mengagulkan jabatan, bukan karena takut Belanda.
Dan itu, kami kira, benar. Sebab, sebelumnya beliau telah menolak tawaran jabatan penghulu dari Jepang. Beliau juga menolak tawaran duduk di jajajaran pengurus NU karena merasa diri tidak pantas.
Hijrah Lagi
Selama tinggal di Jatian, beliau menggelar pengajian. Pengajian ini diikuti baik oleh orang-orang Jatian maupun dari luar. Di antara orang luar Jatian yang rajin mengikuti pengajian beliau ialah H. Abdul Azhim dan H. Sholeh, keduanya berasal dari Glenmore, Banyuwangi.
Mereka di Glenmore terbilang saudagar kaya. Waktu itu Glenmore adalah daerah yang gersang dari segi siraman rohani. Daerah yang keras karena di sana banyak preman. Kemaksiatan merajalela, termasuk yang biasa disebut sebagai Mo Limo (5-M): madat (mabuk-mabukan), madon (zina), main (judi), maling (mencuri), mateni (membunuh). Sementara itu, jumlah guru agamanya tidak banyak. Ada seorang guru agama di sana yang konon masih suka bermain sabung ayam.
Itulah, maka H. Abdul Azhim dan H. Sholeh berinisiatif untuk menawari Kiai Achmad pindah ke Glenmore. Ternyata gayung bersambut. Beliau mengiyakan tawaran tersebut. Satu setengah tahun setelah bermukim di Jatian, beliau melakukan hijrah lagi, yaitu ke Glenmore.
Mula-mula beliau tinggal di rumah H. Abdul Azhim yang terletak di sebelah barat pasar. Lalu beliau membeli rumah di timur pasar. Tak lama kemudian rumah itu dijual, dan hasil penjualannya dipakai membeli rumah di Kalibaru.
Beliau sendiri menempati rumah pemberian H. Mustahal, yang terletak sekitar 200 meter sebelah selatan rumah yang dijual tadi. Rumah ini menjadi tempat tinggal permanen beliau hingga akhir hayat beliau.
Akan halnya keberadaan beliau di Glenmore, sungguh tak mudah. Setelah melewati masa “bulan madu”, mulailah beliau menapak jalan menanjak. Beliau difitnah. Seperti dituturkan oleh Abdusy Syakur (70 tahun), warga Magelenan, Glenmore, suatu kali Pak Syarqowi datang, mengatakan bahwa beliau jadi omongan orang. “Sudah biar saja, orang kalau dibicarakan itu, dosanya habis,” kata beliau. Lalu beliau masuk ke dalam rumah, dan kembali membawa uang. “Ini berikan pada orang-orang yang membicarakan aku. Terima kasih, karena telah menghabiskan dosaku.”
Memang beliau menjadi bahan omongan orang banyak. Dan itu ada provokatornya, kata Kiai Abdillah. Provokator ini menghasut orang. “Jangan ke Kiai Achmad Qusyairi,” katanya di hadapan orang banyak dalam acara tahlilan.
Fitnah itu begitu menghebat hingga Kiai Hasan, yang masih muda kala itu, tidak tahan. Dia sudah mau marah. Dia melaporkan hal itu pada Kiai Hamid, kakak iparnya. “Anu Lah, wong Glenmore iku gak nyucuk karo ilmune Abah (Orang-orang Glenmore tidak dapat menjangkau ilmu KH. Achmad),” kata Kiai Hamid kepada Kiai Abdillah. Beliau juga menyarankan supaya Kiai Achmad kembali ke Pasuruan.
Kiai Abdillah juga membatin, “Biar Abah ke Pasuruan saja, orang-orang aku yang hadapi.” Tetapi beliau bersikukup tetap tinggal di Glenmore. “Biar saja aku difitnah. Aku lebih suka dicela orang daripada dipuji,” ujar beliau.
Di tengah terpaan badai yang hebat itu, beliau tetap bertahan. Beliau mengemong masyarakat. Sedikit demi sedikit beliau memperbaiki keadaan. Beliau mendirikan musalla di utara rumah beliau (1948). Di musalla ini dan di rumah beliau, beliau menggelar pengajian. Para ustaz dan kiai di Glenmore mengaji pada beliau. Orang-orang awam juga. Ada yang dari Glenmore, ada pula dari luar Glenmore.
Tetapi, tentu saja, tidak hanya lewat pengajian beliau mengemong dan mendidik masyarakat, tapi juga lewat keteladanan dan nasihat-nasihat. Terkadang beliau marah. Seperti marah beliau kepada Cak Arik kala pemuda ini masih bermain layang-layang padahal waktu salat Jumat tinggal beberapa menit lagi.
Glenmore pun, pelan tapi pasti, beringsut. Citranya berubah. Dari desa Mo Limo, desa yang tidak aman dan penuh kerawanan, menjadi desa santri yang damai dan aman. Orang-orang yang dulunya dikenal sebagai perampok, pembunuh, ahli menggoda istri orang – pendeknya para jagoan dan preman – berubah penampilan menjadi santri setia beliau yang alim.
Dan dengan sendirinya pula, fitnah yang pernah merebak hebat, lambat laun mereda. Omongan-omongan miring mengenai beliau menghilang, dan orang-orang yang dulunya menjadi pemfitnah dan penghasut berubah menjadi para santri yang taat beragama dan bersikap takzhim pada beliau. Ternyata, segala fitnah dan hasutan itu dikarenakan kesalah-pahaman belaka. Sekarang, orang telah mengerti. Berkat kesabaran dan konsistensi beliau dalam menjaga syariat, lambat laun mereka menjadi semakin tahu. Coba, seandainya beliau mundur sebelum berjuang, mungkin Glenmore tidak banyak berubah. Jadi, alangkah besarnya manfaat kesabaran dalam perjuangan. Dan benarlah firman Allah:
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata, “Kami beriman,” sedang mereka tidak diuji?
Wafat
Dalam usia senja beliau, sekitar tahun 1970, berkali-kali beliau mengatakan ingin wafat di tanah suci Mekah. Hal itu beliau ucapkan dalam banyak kesempatan di hadapan orang banyak. Kebetulan ketika hendak berangkat menunaikan ibadah haji pada 1971 beliau dilanda sakit.
Maka dari itulah, ketika beliau berangkat ke tanah suci dengan menumpang kapal laut, banyak orang yang waswas. Walaupun beliau sempat dinyatakan sehat oleh dokter pada hari-hari menjelang keberangkatan, sesampai di Mekah beliau menderita sakit keras. Begitu parahnya sehingga beliau hanya tergolek di tempat tidur. Ibu Nyai Zainab, yang menyertai beliau, dengan teladen meladeni segala kebutuhan beliau. Termasuk, maaf, menceboki beliau karena beliau benar-benar tidak bisa bangun dari pembaringan. Tak heran jika sempat terbetik perasaan khawatir di hati Ibu Nyai tersebut, “Bagaimana kalau aku ditinggal sendirian di sini?” Betapa beratnya bagi Bu Nyai yang tak pernah keluar dari rumah itu berada dan pulang sendirian dari negeri orang.
Alhamdulillah, beberapa hari menjelang pulang, Kiai Achmad berangsur sehat. Allah Maha berkehendak. Beliau pun pulang ke tanah air menyertai istri beliau dalam keadaan sehat wal afiat. Para anggota keluarga, handai tolan dan para santri yang sempat khawatir merasa lega.
Tetapi beliau tidak lama menyertai beliau. Pada tahun berikutnya di bulan Syawal, saat berada di Gresik, beliau jatuh di kamar mandi. Ternyata kejatuhan itu membawa pengaruh yang besar pada kesehatan beliau. Beliau langsung jatuh sakit dan tidak bisa bangun dari pembaringan.
Beliau kemudian dibawa ke Pasuruan, dan menempati rumah Kiai Hamid, yakni rumah yang dulu beliau tinggali. Seminggu berada di sana, beliau dilanda koma. Dan pada tanggal 22 Syawal 1392 H. bertepatan dengan 28 November 1972 M beliau menghembuskan nafas terakhir dalam usia 81 tahun, meninggalkan 15 putra dan putrid, sejumlah cucu dan dua orang istri: Ibu Nyai Hajjah Halimah dan Ibu Nyai Hajjah Zainab. Dengan diantar ribuan pelayat, beliau dikebumikan di kompleks pemakaman di belakang Masjid Agung Al-Anwar Pasuruan.
Beliau pun menjadi yang terakhir dari tiga serangkai yang wafat dalam waktu tiga bulan berturut-turut. Yang pertama adalah KH. Achmad Sahal Pasuruan pada bulan Sya’ban, lalu KH. Ma’shum Lasem pada bulan Ramadhan, dan beliau sendiri wafat pada bulan Syawal.
Hamid Ahmad, putra terakhir dari KH. Achmad Qusyairi b. Shiddiq
http://salafiyah.org/index.php?option=com_content&task=view&id=130&Itemid=160