Kabupaten Banyuwangim, sebuah kabupaten yang terletak paling ujung timur dari propinsi Jawa Timur selain terkenal sebagai kota santri juga di kabupaten ini terdapat seorang auliya’ yang setiap tahun haulnya diperingati dengan besar-besaran setiap hari ahad pagi minggu pertama bulan Muharam. Waliyullah itu adalah Habib Hadi bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Soleh Al-Hadar. Ia Lahir pada tahun 1908 M (1325H) di Banyuwangi. Habib Hadi dari kecil telah menunjukan akhak yang terpuji. Dari kanak-kanak ia telah menunjukan sikap-sikap yang baik. Dengan teman sepermainan tidak pernah mau mengganggu dan kalau pun diganggu, ia tidak pernah melawan.
Pada umur sembilan tahun, ibunya yang bernama Syarifah Syifa binti Mustafa Assegaff meninggal. Ia kemudian oleh ayahnya Habib Abdullah bin Umar Al-Haddar dibawa ke Gathan, Hadramaut. Selama di negeri para auliya itu, Habib Hadi belajar dengan ulama-ulama setempat. Hari- hari diisinya dengan taklim dan mengaji.
Saat bulan Ramadhan tiba, masyarakat muslim Hadramaut menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah dengan waktu yang berbeda-beda, mulai dari lepas shalat isya sampai jelang waktu sahur. Habib Hadi tak ketinggalan ikut shalat tarawih berjamaah dari masjid yang satu ke masjid yang lainnya dari mulai lepas Isya sampai waktu jelang sahur. Kebiasaan ini membuat ayahanda Habib Hadi, Habib Abdullah bin Umar marah kepadanya.”Kamu ke sini bukan untuk beribadah. Kamu datang ke sini untuk menuntut ilmu. Jangan satu malam kamu habiskan untuk shalat tarawih.”
Padahal usianya pada waktu itu, baru 11 tahun, ayahnya meninggal. Habib Hadi kemudian tinggal bersama seorang adiknya, yakni Habib Muhammad. Saat itulah ia hidup sangat sederhana di Hadramaut, namun di tengah kesederhanaan itu, ia selalu mendahulukan adiknya. Kalau ia mendapatkan dua keping roti dan secangkir kopi tiap sehabis shalat berjamaah, dua keping roti dan secangkir kopi itu diberikan untuk adiknya dan ia lebih berpuasa. Demikian kecintaan yang luarbiasa untuk sang adik.
Habib Hadi dari kecil telah menjaga makanan yang dimakan dari sesuatu yang haram, bahkan yang diragukan (subhat). Pernah suatu ketika sang adik membawa buah-buahan, ia kemudian bertanya, ”Dari mana kamu dapat buah-buahan ini?”
Sang adik menjawab,”Saya memungut dari kebun sebelah.”
Mendengar jawaban dari sang adik, Habib Hadi marah kemudian ia memegang buah yang dibawa sang adik dan berkata, ”Kembalikan ke tempat yang kamu yang dapat.”
Sang adik pun akhirnya menuruti perintah sang kakak mengembalikan buah yang jatuh kepada sang pemilik kebun.
Demikianlah sedari kecil, Habib Hadi sangat menjaga makanan yang masuk ke perutnya. Sehingga ibadah sesuatu
Setelah ayahnya meninggal, Habib Hadi belajar dengan Habib Muhammad bin Hadi Assegaff di Seiwun. Habib Muhammad bin Hadi Seiwun ini adalah murid dari Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, sahibul maulid Simthud Durar. Selama di majelis Habib Muhammad ini, teman Habib Hadi selama belajar di sana adalah Habib Abdulkadir bin Husein Assegaff (ayahanda Habib taufik, Pasuruan).
Kalau malam, Habib Hadi bermunajat, berdzikir dan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT (qiyamul lail), sedangkan kalau siang hari ia berpuasa. Wajarlah melihat aktivitas ibadah dari Habib hadi telah terlihat sejak kecil, membuat sang guru, Habib Muhammad memberikan kedudukan yang istimewa di tengah murid-muridnya.
Dalam mengajar, Habib Muhammad selalu menyediakan tempat duduk di sampingnya dalam keadaan kosong, dan tidak pernah ada seorang pun dari murid-muridnya yang berani menempati tempat duduk yang kosong itu. Tempat duduk yang kosong itu adalah tempat duduk Habib Hadi bin Abdullah Al-Hadar.
Pada umur 20 tahun, Habib Hadi pulang ke Indonesia melalui pelabuhan Surabaya. Saat itu ia disambut oleh saudara-saudaranya yang saat itu sudah sukses di Surabaya, seperti Habib Ahmad (pemborong jalanan), Habib Muhamad (pedagang beras), Habib Mustafa (saudagar kopra). Tapi, Habib Hadi menolak semua sambutan yang meriah, ia menolak pakaian yang sudah dipersiapkan oleh saudara-saudaranya.
Melihat saudaranya yang sudah maju, Habib Hadi tidak terpikat untuk bergabung dengan saudara-saudaranya. Ia justru mampir ke tempat kenalannya yakni H. Abdul Aziz, seorang pedagang kain. Habib Hadi tiap hari berjualan sarung, kain batik di pasar. Melihat Habib Hadi jualan di pasar, saudara-saudaranya marah. Habib Hadi kemudian ditarik kerja di pelabuhan bagian menimbang kopra.
Akhirnya Habib Hadi, menurut perintah saudara-saudaranya kerja di pelabuhan. Namun, sebelum kerja di pelabuhan, ia sempat mampir ke pasar untuk membeli paesan (nisan untuk orang mati) dan selalu dibawa ke tempat kerja. Nisan yang terbuat dari kayu itu ditaruhnya di bawah timbangan dan selalu ditaburi bunga yang masih segar. “Saya kalau menimbang kopra selalu ingat nisan yang ada di bawah timbangan. Dengan mengingat nisan ini, saya selalu ingat akan mati, maka timbangannya harus pas. Karena yang saya timbang ini akan dipertanggungjawabkan, kelak di hari kiamat,” kata Habib Hadi mengomentari tingkahnya yang selalu membawa nisan saat bekerja.
Pernah ia dipindah ke bagian keuangan (kasir), suatu saat ia mengumpulkan uang yang rusak, palsu dan dikumpulkan semua. Dan akhirnya semua uang yang rusak itu dibuang ke laut. Melihat perilaku Habib Hadi, saudara-saudaranya sudah habis rasa kesalnya. Mereka marah dengan perilaku Habib Hadi.
Melihat ketidakcocokan dalam bekerja dengan saudara-saudaranya, Habib Hadi kemudian berhenti bekerja dan lebih banyak beribadah serta hadir di acara-acara haul para ulama dan habib yang tersebar di Pulau Jawa, mulai Habib Ali bin Abdurahman Al-Habsyi. Habib Hadi kembali berdagang kain untuk menghidupi keluarga. Uniknya dalam berdagang, ia selalu jujur mengatakan harga yang sebenarnya dari barang yang dijualnya kepada pembelinya.”Boleh kamu kasih ongkosnya, atau lebihkan sedikit dari barang ini,” kata Habib Hadi kepada para pembelinya.
KH Chasan Abdillah salah seorang ulama ternama di Glenmoore, Banyuwangi pernah berkata kepada Habib Hadi, ”Habib, anda tidak ditipu sama orang dengan berjualan seperti itu?”
“Biar orang-orang menipu saya. Yang penting, saya tidak menipu sama orang lain,” kata Habib Hadi kepada KH Chasan Abdillah.
Habib Hadi saat Banyuwangi dikenal sangat dekat dengan Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaff (Pasuruan). Saat itu Habib Ja’far mempunyai tasbih kesayangan yang diperoleh dari Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad. Tasbih itu ternyata adalah milik Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi. “Siapa yang memegang tasbih ini akan membuat kenyang akan dzikrullah,” kata Habib Ja’far kepada orang-orang yang ada di majelis. Orang-orang berebut ingin mendapatkannya. Tapi Habib Ja’far bin Syaikhon mencegahnya.”Sebentar lagi orangnya akan datang.” Tak berapa lama kemudian Habib Hadi hadir di majelis, Habib Ja’far langsung bangkit dan mengalungkan tasbih kesayangannya ke leher Habib Hadi.
Saking dekatnya antara Habib Ja’far, kalau Habib Hadi datang, selalu diajaknya ke kamar dan dikunci. Sekalipun Habib Ja’far sedang ada pengajian atau tamu, Habib Hadi selalu diajaknya ke kamar khusus. Apa yang mereka perbincangkan, tidak ada yang tahu.
Habib Hadi wafat pada usia 65 tahun dengan meninggalkan 8 orang anak (1 putra, 7 perempuan), pada Kamis, 4 Muharam 1393 H (8 Februari 1973). Jenazahnya kemudian dishalati dengan imam Habib Abdulkadir bin Husein Assegaff (Pasuruan) dan dimakamkan di komplek makam Blambangan, Lateng, Banyuwangi.