Salah Satu Pendiri Jamiat Kheir
Ia merupakan salah satu pendiri Jamiat Kheir. Kegiatan organisasi ini menaruh perhatian dalam bidang pendidikan dan sosial
Tahun 1900 merupakan awal abad 20 yang sering dikatakan awal abad keemasan. Batavia, sebutan kota Jakarta saat itu, sedang memasuki periode kota kolonial modern. Berkat revolusi industri berbagai teknologi diperkenalkan. Sistem transportasi dan komunikasi mulai berkembang. Angkutan kereta api Jakarta-Bogor mulai diperkenalkan, sedangkan pelabuhan Tanjung Priok semakin ramai oleh pendatang dari Belanda dan Eropa setelah dibukanya terusan Suez di Mesir.
Tapi sayangnya, yang menikmati kemajuan itu hanyalah kelompok minoritas Belanda dan orang-orang Eropa. Tidak demikain halnya dengan orang-orang pribumi, termasuk orang-orang keturunan arab. Khusus terhadap orang-orang keturunan arab, Belanda menganggap keberadaan mereka di Indonesia sangat membahayakan politik kolonialnya yang anti Islam. Apalagi semangat Pan-Islamisme yang dikobarkan di Turki dan pejuang Islam kaliber internasional dari Ahul-Bayt, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bergaung di Indonesia. Prof. Snouck Hurgronye terang-terangan menuduh kaum Alawiyyin yang menyebarkan paham Pan-Islamisme di Indonesia.
Begitu bencinya Belanda terhadap Islam dan orang-orang keturunan Arab, sehingga di bidang pendidikan, melalui sekolah-sekolah waktu itu, citra buruk Arab digambarkan secara kasar melalui buku-buku pelajaran sejarah. Hingga tidak heran, menurut Mr. Hamid Algadri dalam bukunya Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda mengakibatkan mereka tidak mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Belanda. Bukan hanya orang-orang keturunan Arab, tapi juga kelompok ulama dan santri menganggap sekolah Belanda sebagai sekolah kafir.
Dalam situasi dan tekanan kolonial yang keras itulah, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab tampil untuk mendirikan sebuah perguruan Islam, yang bukan hanya mengajarkan agama, tapi juga pendidikan umum. Pada tahun 1901, berbarengan dengan maraknya kebangkitan Islam di tanah air, berdirilah perguruan organisasi yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan Jamiat Kheir. Pada saat pertama kali berdiri, perguruan ini membuka sekolah di kawasan Pekojan yang saat itu penghuninya banyak keturunan arab.
Selain Abubakar bin Ali shahab, turut serta mendirikan perguruan ini sejumlah pemuda Alawiyyin yang mempunyai kesamaan pendapat dan tekad untuk memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus melawan propaganda-propaganda jahat Belanda yang anti Islam. Mereka antara lain adalah Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Syechan bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas dan Abubakar bin Muhammad Alhabsyi.
Begitu suksesnya Jamiat Kheir hingga diakui oleh pemerintah RI dan ahli sejarah Islam sekarang ini sebagai organisasi Islam yang banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, seperti KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS. Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Budi Utomo), H. Agus Salim (tokoh KMB), dan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan lainnya yang merupakan anggota atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.
Habib Abubakar bin Ali Shahab, sebagai ketua Jamiat Kheir, juga ikut mendorong organisasi ini ketika pindah dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KHM. Mansyur, Tanah Abang). Kegiatan organisasi ini kemudian meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, bersama-sama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl. Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen.
Aktif Sejak Muda
Habib Abubakar dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Rajab 1287 H/ 24 Oktober 1870 M, dari seorang ayah bernama Ali bin Abubakar bin Umar Shahabuddin al-Alawy, kelahiran Damun, Tarim, Hadramaut. Ibunya bernama Muznah binti Syech Said Naum. Said Naum adalah salah seorang keturunan Arab yang mewakafkan tanahnya yang luas di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk pemakaman.
Di zaman Gubernur Ali Sadikin di tahun 70-an pemakaman ini dipindahkan ke Jeruk Purut dan Karet, dan lahannya dipergunakan untuk membangun rumah susun pertama di Indonesia, berikut sebuah masjid lengkap dengan madrasahnya yang memakai nama Said Naum untuk mengabadikan wakafnya. Masjid ini pernah mendapat anugerah Agha Khan karena arsitekturnya yang orisinil dan menawan selaras dengan lingkungannya.
Dalam usia 10 tahun, pada tahun 1297 H, Habib Abubakar bersama ayahnya serta saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. di Hadramaut, Abubakar muda menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal di sana, baik di Damun, Tarim, maupun Seywun. Tidak puas dengan hanya dengan berguru, beliau selalu mendatangi tempat-tempat pengajian dan pertemuan-pertemuan dengan sejumlah ulama terkemuka.
Abubakar kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura, dan tiba di Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut, ia yang masih muda itu mendirikan Jamiat Kheir bersama pemuda-pemuda sebayanya.
Setelah Jamiat Kheir berkembang dan semakin banyak muridnya, dalam usia 50 tahun atau pada tanggal 1 Mei 1926 beliau kembali berangkat ke Hadramaut untuk kedua kalinya. Kali ini disertai dua orang putranya, Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, Malaysia, Mesir dan Mukalla sebelum akhirnya tiba di Damun, Hadramaut, pada tanggal 20 Zulqaidah 1344 H.
Di tempat-tempat yang dikunjunginya, beliau bersama dengan dua putranya yang masih berusia 20-an tahun selalu membahas upaya untuk meningkatkan syiar dan pendidikan Islam sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, “Belajarlah kamu dari sejak buaian sampai ke liang lahat”. Habib Abubakar di tempat-tempat yang disinggahi selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Di Hadramaut ini, beliau memperbaiki sejumlah masjid, antara lain masjid Al-Mas. Bahkan beliau membangun masjid Sakran yang sampai sekarang masih berdiri dengan megahnya.
Almarhum tidak pernah jemu dan lelah berjuang untuk kejayaan Islam dan Alawiyyin, bahkan juga tidak segan-segan untuk mencari dan mengumpulkan biaya selama di Jawa, Palembang dan Singapura untuk membangun madarasah di Damun, Hadramaut. Sampai sekarang madrasah ini masih berdiri dengan baik. Beliau juga mendirikan yayasan Iqbal di Damun.
Pada 27 Syawwal 1354 H beliau sampai di Jeddah untuk menunaikan ibadah haji. Kedatangannya di tanah suci berbarengan dengan kedatangan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dari Kwitang, seorang ulama besar di Jakarta yang menjadi shahabat karibnya. Mereka bersama-sama menziarahi tempat-tempat mulia dan para tokoh ulama.
Pada awal Muharram 1355 H beliau kembali ke Damun, Tarim. Pada 11 Safar 1356 H bertepatan dengan 23 April 1937 M beliau berangkat pulang ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, beliau disambut oleh shahabat karibnya, Habib Ali Kwitang di sekolah Unwanul Fallah yang dibangun Habib Ali. Keesokan harinya beliau disambut di sekolah Jamiat Kheir, sekolah yang didirikannya. Baik di Kwitang maupun di Tanah Abang, sejumlah tokoh habaib yang ada memberikan kata-kata sambutan dan pujian kepadanya. Ketika diterima di Jamiat Kheir, sekolah ini dipimpin oleh Muhammad bin Ahmad bin Sumaith.
Berbagai kegiatan di bidang sosial dan pendidikan tidak pernah henti-hentinya dilakukannya selama berada di Indonesia, karena bidang ini tidak lepas dari perhatiannya. Bahkan pada 14 November 1940 beliau menghadiri pembukaan madrasah/ma’had di Pekalongan. Madrasah ini dibangun oleh sepupunya, Habib Husein bin Ahmad bin Abubakar Shahab. Pembukaan sekolah di Pekalongan ketika itu mendapat sambutan meriah bukan saja dari warga setempat, tapi juga dari tokoh masyarakat Jakarta, Cirebon, Solo, Gresik, Surabaya dan masih banyak lagi.
Berjuang untuk Islam dan masyarakat, Habib Abubakar tidak pernah berhenti. Bukan hanya mengorbankan tenaga, tetapi juga tidak segan-segan untuk mendermakan harta bendanya. Demikianlah, beliau sebagai wakil dari Al-Rabithah Al-Alawiyyah telah beberapa kali ditugaskan mencari dana bukan hanya untuk kepentingan kelompok Alawiyyin, tapi juga masyarakat luas.
Pada tanggal 18 Maret 1944 M, saat pendudukan Jepang, tokoh yang juga ikut dalam mendirikan Malja Al Shahab di tahun 1913 bersama sejumlah pemuda. Al Shahab ini, menghadap hadirat Allah SWT pada hari Sabtu 18 Maret 1944 M yang bertepatan dengan 23 Rabiul Awwal 1363 H. Beliau wafat di Jakarta dan dimakamkan di pekuburan wakaf Tanah Abang, tanah wakaf kakeknya. Yang memandikan dan mengkafani almarhum adalah Habib Ali bin Husein bin Muhammad Al-Aththas dan Syeikh Ahmad bin Umar Al-Azab.
Ketika pemakaman dipindahkan ke Jeruk Purut, tidak ada yang mengetahui dimana jasad beliau dipindahkan. Beliau meninggalkan tujuh orang putra-putri. Putra tertua Abdurrahman, disusul Abdullah, Hamid, Idrus, Zahrah, Muznah dan Ali. Putra terkecilnya, Ir. Ali A. Shahab, pernah menjabat Kepala Divisi Komunikasi dan Elektronika Direktorat PKK Pertamina. Seperti juga almarhum ayahnya, Ali Abubakar Shahab kini aktif di bidang sosial. Patah tumbuh hilang berganti.
disarikan dari Rihlatul Asfar: sebuah otobiografi Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin, yang diterjemahkan oleh Drs Ali Yahya, Spsi, tahun 2000