Khutbah Idul Fitri 1445 H: Menyemai Ukhuwah dan Kepedulian Sosial, Spirit Idul Fitri Membangun Negeri
Oleh Prof Dr KH M Asrorun Niam Sholeh, MA Ketua MUI Pusat Bidang Fatwa
Khutbah Pertama
الله أكبر الله أكبر الله أكبر — الله أكبر الله أكبر الله أكبر — الله أكبر الله أكبر الله أكبر
الحمد لله وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْـدَهُ لاَ شَـرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُـوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهْ. اَللَّهُمَّ صَّلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهْ وَعَلَى الِهِ وَأَصْـحَابِهِ ومَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَة
أَمَّا بَعْدُ: فَيَا مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ أُوصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَا اللهَ فَقْدْ فَازَ الْـمُتَّقُوْنَ. وَقَدْ قـَالَ اللهُ تَعاَلَى فِي الْـقُرْاَنِ الْكَرِيْمِ: ” وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ” (البقرة: 186) وقال النبي: “اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ اْلحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي)
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil Hamd
Hadirin, Jamaah Shalat ‘Id –rahimakumullah-
Hari ini seluruh semesta bertakbir, mengagungkan asma Allah SWT, dan pada saat yang sama kita mengakui akan kecilnya kita di hadapan Sang Maha Pencipta, seberapa tinggi kekuasaan dan jabatan kita. Di hari yang fitri ini, umat Islam seluruh dunia menyambutnya dengan penuh suka cita. Gema takbir mengumandang di seluruh jagad. Jutaan suara manusia, desiran ombak, tiupan angin, gerakan tetumbuhan, binatang, semuanya mengumandangkan takbir memuji kebesaran-Nya.
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaknya kamu bertakbir mengagungkan nama Allah atas hidayah yang diberikan padamu dan semoga kamu bersyukur (al-Baqarah: 185)
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil Hamd
Hadirin, Jamaah Shalat ‘Id –rahimakumullah-
Sebulan penuh kita telah melaksanakan aktivitas ibadah, mulai shiyam hingga qiyam di bulan Ramadhan. Setidaknya ada dua hal penting yang bisa dikontibusikan dari ibadah ramadhan dalam mengoptimalkan keberadaan kita sebagai abdullah dan khalifah, sebagai individu, pemimpin keluarga, dan bagian dari warga negara Indonesia; penempaan diri kita menuju insan muttaqin; sosok pribadi yang shalih, shalih untuk diri kita; dan pribadi yang mushlih, kehadiran kita untuk selalu melakukan perbaikan dan mendatangkan maslahat untuk sesama, dengan terus menyemai spirit kebersamaan, ukhuwwuh (persaudaraan) dan kepedulian sosial.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil Hamd
Hadirin, Jamaah Shalat ‘Id –rahimakumullah-
Salah satu indikator utama ketaqwaan yang diharapkan dari setiap shaimin adalah semangat saling memaafkan, kerelaan hati untuk mengakui kesalahan untuk kemudian membuka diri untuk saling memberi dan menerima. Murah dan mudah untuk dilakukan tetapi tidak setiap kita siap dan bisa melakukannya.
Sikap saling memaafkan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ibadah puasa. Ibadah puasa mempunyai tujuan penciptaan pribadi yang taqwa, sementara sifat pemaaf mendekatkan pada ketaqwaan, sebagaimana firman-Nya:
وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (البقرة: 237)
“Dan permaafan kamu itu lebih dekat pada taqwa, dan janganlah kau lupakan keutamaan antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang kamu lakukan”.
Dengan demikian, kesempurnaan fitrah yang kita harapkan ini adalah dengan saling memberikan maaf antar sesama, sebesar apapun dosa itu. Sekalipun bisa jadi orang yang bersalah kepada kita enggan untuk meminta maaf. Untuk itu, melalui momentum ‘Idul Fitri, kita buka pintu maaf seluas-luasnya, kepada siapapun, dengan tanpa syarat apapun.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil Hamd
Hadirin, Jamaah Shalat ‘Id –rahimakumullah-
Tidak bisa dimungkiri, pemilihan umum yang baru saja kita lewatkan, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden menimbulkan dampak terjadinya polarisasi karena afiliasi poltik dan pilihan yang berbeda. Bahkan, di beberapa lingkungan keluarga, kelompok, atau komunitas, polarisasi tersebut sangat tajam, hingga memutuskan tali silaturahim.
Idul Fitri adalah mementum keagamaan yang harus didayagunakan untuk merajut kebersamaan, dengan spirit saling memaafkan. Idul Fitri mengajarkan kita tentang pentingnya membangun persaudaraan, kebersamaan, dan saling menguatkan. Allah SWT berfirman dalam QS Ali Imran 103:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara…”
Pemilu sebagai salah satu mekanisme permusyawaratan untuk menentukan pemimpin harus kita kembalikan kepada esensinya, yaitu memilih wakil rakyat dan memilih pemimpin untuk mengemban amanah kepemimpinan secara baik. Saat pelaksanaan pemilu terjadi kontestasi, dan tidak jarang terjadi perbedaan, perselisihan, gesekan hingga fragmentasi.
Namun, jika keputusan sudah diambil, dan hasil sudah diperoleh, maka kewajiban kita adalah memegang komitmen persaudaraan, menjaga dan berpegang pada hasil kesepakatan bersama, dengan disertai tawakkal dan memohon bimbingan-Nya, bukan dengan menentang, apalagi berbuat anarki. Firman Allah SWT dalam QS Ali Imran ayat 159:
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil Hamd
Hadirin, Jamaah Shalat ‘Id –rahimakumullah-
Ukhuwwah atau persaudaraan dalam perspektif Islam merupakan fitrah keislaman dan kemanusiaan kita. Setidaknya ada tiga klasifikasi ukhuwwah, sebagaimana dikenalkan oleh KH Ahmad Siddiq. Pertama, Ukhuwah Islamiyah, persaudaraan sesama muslim. Sekalipun kita berbeda dalam madzhab fikih, seperti soal tata cara menetapkan awal Ramadhan dan syawal misalnya, namun kita diikat oleh solidaritas ke-Islaman.
Perbedaan cara pandang keagamaan antar umat Islam tidak perlu menjadi perpecahan. Prinsip ukhuwah ini menjadikan hubungan antar sesama umat Islam menjadi harmonis dan mampu menjadi sebuah kekuatan besar untuk bersama-sama membumikan nilai-nilai Islam. Ukhuwah Islamiyah menjadi sebuah ikatan spiritual, tidak hanya secara emosional.
Kedua, ukhuwah wathaniyah, persaudaraan sesama bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, konsep ini menjadi pondasi dalam melakukan pergaulan sosial dan menjalin harmoni di tengah keragaman elemen bangsa, baik dari sisi agama, suku, ras, dan golongan. Namun, kita diikat oleh persaudaraan kebangsaan. Bangunan ukhuwah wathaniyah tidak boleh tidak harus menjadi sebuah prinsip bersama dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan saling menghargai satu sama lain.
Ketiga, ukhuwah basyariyah, persaudaan sesama manusia. Sungguhpun kita berbeda agama, berbeda suku, berbeda bangsa, berbeda kewarganegaraan, itu semua tidak jadi alasan untuk tidak bersatu. Kita diikat oleh ikatan kemanusiaan universal. Sesama manusia adalah bersaudara karena berasal dari ayah dan ibu yang satu, yakni Adam dan Hawa. Hubungan persaudaraan ini merupakan kunci dari seluruh jenis persaudaraan, terlepas dari latar belakang agama, suku, bangsa, dan sekat geografis. Nilai utama dari persaudaraan ini adalah kemanusiaan. Rasulullah SAW menjadikan pesan kesetaraan dan persaudaraan universal ini menjadi salah satu hal terpenting ketika beliau menyampaikan khutbah perpisahan, di antaranya sebagaimana sabdanya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، كُلُّكُمْ لِآدَمَ، وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ
“Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (esa). Nenek moyangmu juga satu, kamu semua berasal dari Adam. sedangkan Adam berasal dari tanah.” (HR Ahmad).
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil Hamd
Hadirin, Jamaah Shalat ‘Id –rahimakumullah-
Tidak ada seorangpun terbebas dari kesalahan dan dosa; baik penguasa maupun rakyat jelata; ulama dan orang awamnya; pejabat maupun pegawainya. Seluruh kita pernah berbuat salah dan dosa, baik dosa kepada Pencipta maupun kepada sesama manusia. Namun, sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat. Nabi SAW bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak adam itu memiliki kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah mereka yang bertaubat” (HR. Ahmad dan Ibn Majah)
Imam al- Nawawi dalam kitab Al-Adzkar (2/845) menjelaskan, ada 3 (tiga) syarat dalam melaksanakan taubat nasuha atas dosa yang dilakukan kepada Allah SWT:
اعلم أن كل من ارتكب معصية لزمه المبادرة إلى التوبة منها ، والتوبة من حقوق الله تعالى يشترط فيها ثلاثة أشياء : أن يقلع عن المعصية في الحال . وأن يندم على فعلها . وأن يعزم ألا يعود إليها .
“Ketahuilah bahwa setiap orang yang melaksanakan dosa maka wajib baginya segera melakukan taubat (nasuha). Adapun taubat dari dosa kepada Allah (haqqullah) ada tiga syarat; (i) berhenti dari perbuatan dosa itu seketika itu juga. (ii) menyesali perbuatannya; dan (iii) berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi.”
Sementara itu, jika kesalahan itu terhadap sesama manusia, maka di samping ketiga syarat di atas, harus ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu membebaskan diri dari hak manusia yang dizalimi dengan cara, apabila menyangkut harta dengan cara mengembalikan harta tersebut atau meminta diikhlaskan; dan apabila menyangkut non-materi seperti memfitnah, melakukan ghibah, menipu, dan sejenisnya maka hendaknya meminta maaf kepada yang bersangkutan.
Dalam konteks ini, sebagai orang yang memiliki kesalahan harus terlebih dahulu berinisiatif untuk meminta maaf. Sebaliknya, tanpa diminta, kita berinisiatif untuk membuka pintu maaf dan selalu siap memaafkan. Bisa jadi, saat interaksi sosial, termasuk saat pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden beberapa waktu lalu, kita menyinggung, menyindir, dan/atau menyakiti orang lain, sengaja atau tidak sengaja, saatnya kita proaktif meminta maaf dan melakukan rekonsiliasi. Sebaliknya, kita buka dada kita lebar-lebar untuk memaafkan orang yang bersalah kepada kita, memfitnah kita, menjelekkan kita, tanpa harus menunggu orang lain meminta maaf. Sikap kesatria ini akan menyebabkan kemuliaan kita, sebagaimana sabda baginda Rasulullah SAW:
“مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا. وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ”
“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta dan Tidaklah Allah menambah seorang yang suka memberi maaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seorang yang tawadlu’ (merendahkan diri) kepada Allah kecuali ditinggikan derajatnya oleh Allah.” (HR Muslim)
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil Hamd
Hadirin, Jamaah Shalat ‘Id –rahimakumullah-
Manusia diciptakan menyandang dua status, sebagai abdullah dan sebagai khalifah. Pola relasinya harus berimbang antara hablum minallah dan habulm minannas. Hubungan itu tidak boleh timpang. Dengan Allah SWT baik, rajin shalat dan seluruh ibadah mahdlah terlaksananya secara baik, tapi dengan kerabat, tetangga, ataupun sahabat kurang baik, ini tidak dibenarkan. Puasa kita akan sia-sia sungguhpun kita tunaikan secara baik, seluruh syarat rukunnya kita jaga, jika ternyata kita tidak menjaga lisa dan tindakan kita menyakiti sesama. Warning Nabi SAW:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan kotor, maka Allah SWT tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum.”
Bahkan, dalam hadits lain, orang seperti itu digambarkan sebagai orang yang “muflis”; rugi besar, sebagaimana sabdanya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ” (رواه مسلم والترمذي)
Untuk itu, menjaga keseimbangan antara hablum minallah dan hablum minannas, menjadi sangat penting. Dalah salah satu instrumen yang sangat penting dalam hubungan antar sesama manusia (hablum minannas) adalah silaturahim.
“مَن أحبَّ أنْ يُبْسَطَ لَهُ فِيْ رِزْقِهِ، ويُنسَأَ لَهُ فِي أثره، فليَصل رحِمه” (متفق عليه)
“Barangsiapa yang ingin rizqinya diperluas dan umurnya ditambah, maka hendaklah ia menyambung silaturahim.” (Muttafaq alaih).
Hakikat silaturahim adalah upaya menyambung tali kekerabatan; menyambung yang pernah terputus. Residu pileg dan pilpres bisa jadi merenggangkan tali kekerabatan, bahkan sampai memutus persahabatan. Saatnya kita sambung kembali dengan komitmen rekonsiliasi, jauh dari egoisme diri, apalagi merasa benar sendiri. Bukan merupakan bentuk silaturrahim jika hanya membalas kunjungan sanak kerabat, atau berkunjung pada handai taulan yang sudah akrab dengan kita. Atau sekadar berkumpul dengan cyrcle nya semata, tanpa ada upaya membangun silaturrahim dengan pihak-pihak yang berbeda. Menyambung tali persaudaraan baru bermakna jika kita memperdekat saudara yang jauh, meski harus berpeluh, berkorban tenaga dan biaya untuk sekedar berjumpa dan bertatap muka. Sabda nabi:
صِلْ مَنْ قَطَعَكَ وَأَحْسِنْ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ وَقُلِ الْحَقَّ وَلَوْعَلَى نَفْسِكَ
“Sambung tali silaturahim terhadap orang yang memutuskannya, berbuat baiklah terhadap orang yang telah berbuat jahat kepadamu dan berkatalah benar sekalipun akan mengenai dirimu.”
“لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا” )رواه البخاري(
“Bukan termasuk orang yang bersilaturahim dengan kunjungan balasan, orang yang bersilaturrahmi adalah yang apabila diputus silaturahim ia menyambungkannya.” (HR Al-Bukhari).
Berat memang, jika kita tidak memiliki mental untuk berjuang dan menaklukkan ego kita; namun beratnya silaturrahim seimbang dengan posisi agungnya. Bahkan nabi saw menegaskan bahwa silaturrahmi adalah bagian dari keimanan kita. Sabdanya:
…وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ …(رواه البخاري)
“…. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka dia wajib menjaga silaturahim…. ”
Kita harus bergerak maju, menatap ke depan, dimulai dengan komitmen merajut kebersamaan. Kita harus meneguhkan komitmen agar hari ini lebih baik dari kemarin, dan esok harus lebih baik dari hari ini. Salah satu modal utama untuk maju adalah persatuan. Rasululah SAW memberikan panduan kepada kita:
مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ، وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهَ فَهُوَ مَغْبُوْنَ، وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنَ (رواه الحاكم)
“Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat.”
Indikator kesuksesan kita dalam hidup ini, baik pejabat maupun rakyatnya, penguasaha dan pekerjanya, adalah sejauh mana mendatangkan manfaat untuk sesama.
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain.”
Ramadhan yang penuh dengan nilai-nilai kebaikan, dapat menjadi motor penggerak untuk menyelesaikan persoalan sosial yang mucul di tengah masyarakat kita. Puasa Ramadhan bukan hanya terbatas pada cermin ketaatan individu yang sifatnya vertika dan persoal (hablum minallah), akan tetapi etos Ramadhan dapat menjelma sebagai penegasan hubungan kemanusiaan (hablum minannas), menjadi solusi masalah sosial (al-hall al-ijtima’i), khususnya terkait dengan permasalahan kontemporer kemasyarakatan dan kebangsaan.
Di level keluarga, spirit Ramadhan dapat menjadi momen yang tepat untuk membangun harmoni keluarga, menguatkan sendi hubungan keluarga, yang sebelumnya mengalami kelonggaran akibat berbagai kesibukan. Relasi sosial dalam keluarga kita pasti mengalami dinamika dan pasang surut; kadang dekat kadang jauh, kadang sepaham kadang berselisih paham, kadang bersama kadang juga bersimpang jalan.
Momentum Idul fitri ini, kita bangun kembali hubungan harmonis di lingkungan keluarga; dimulai hubungan anak-ayah-ibu untuk saling memaafkan, berkomunikasi dan menumbuhkan sikap saling berbagi, baik duka maupun suka. Selanjutnya, kita ajarkan kepada anak-anak untuk mempererat tali silaturrahmi dengan sanak keluarga, dengan memegang etika penghormatan kepada yang lebih tua serta menyayangi kepada yang lebih muda. Pola relasi ini diajarkan Rasulullah SAW melalui sabdanya:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَناَ
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi orang yang lebih muda dan tidak menghormati yang lebih tua”
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil Hamd
Hadirin, Jamaah Shalat ‘Id –rahimakumullah-
Terakhir, Kebersamaan yang dibangun dalam Islam harus didasarkan pada hubungan yang saling menghormati, setara, saling menguntungkan, dan saling menghargai posisi masing-masing. Dalam relasi sosial, silaturrahim dioperasioanalkan dalam komitmen kolaborasi dan membangun networking (jejaring). Kita tidak akan mungkin bisa hidup dengan kesendirian, betapapun kehebatan kita. Penguasa membutuhkan rakyat, demikian sebaliknya. Pengusaha membutuhkan karyawan, demikian sebaliknya. Pejabat membutuhkan staf, demikian sebaliknya. Rakyat wajib taat kepada ulil amri atau pemerintahnya, dengan catatan pemerintahnya melaksanakan tugas secara bersungguh-sungguh untuk mensejahterakan rakyatnya, sekalipun penguasa tersebut secara personal berasal dari kalangan yang tidak kita sukai. Demikianlah kebersamaan yang diajarkan dalam Islam. Hal ini secara jelas disebutkan dalam hadis nabi saw yang diriwayatkan Imam al- Bukhari:
عَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَاِنْ وُلِّيَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
“Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya dari Etiopia”.
Akan tetapi, ketaatan tersebut dengan syarat jika ulil amri menjalankan tugas bersungguh-sungguh mewujudkan kemaslahatan masyarakat, dan tidak melanggar ketentuan syariah, tidak memerintahkan kemaksiatan atau menghalangi ketaatan.
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib setiap orang untuk mendengar dan taat, baik terhadap sesuatu yang dia suka atau benci, kecuali jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.”
Dengan power of the silaturahim yang menjadi rangkain Idul Fitri dan pola hubungan harmonis seluruh elemen masyarakat, kita berharap dapat berkontribusi membangun negeri menuju ridha ilahi; mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.
بَارَكَ اللهَ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَ جَعَلَنَا اللهُ مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ ، وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
Khutbah Kedua
الله أكبر الله أكبر الله أكبر — الله أكبر الله أكبر الله أكبر – الله أكبر كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لاَ إِلَهَ إِلاّاَلله الله أكبر
الحَمْدُ لِله الَّذِيْ أَحَلَّنَا هَذَا الْيَوْمَ الطَّعَامَ وَحَرَّمَ عَلَيْنَا فِيْهِ الصِّيَامَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا ِإلَهَ إِلاَّ اللهَ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ، سَيّدُ الأَنَامْ.
والصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمّدٍ نَبِيِّ الْعَرَبِ وَاْلعَجَمِ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامِ،
أما بعد؛ فيَا عِبَادَ الله اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، فَأَكْثِرُوا مِنَ الصَّلاَةِ عَلَى النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ، وقال تعالى: إِنَّ اللهَ وَمَلَآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيْ يَآأَيُّهاَالَّذِيْنَ آمَنُوْآ صَلُّوْآ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا “
اللهم صل على سيد المرسلين وعلى أله وأصحابه والتابعين و تابعي التابعين و تابعيهم بإحسان إلى يوم الدين وارحمنا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين
اللهم اغفر للمسلمين و المسلمات و المؤمنين و المؤمنات الأحياء منهم و الأموات إنك سميع قريب مجيب الدعوات يا قاضي الحاجات
تَحَصَّنَّا بِذي الْعِزَّةِ وَالْجَبَرُوْتِ وَاعْتَصَمْنَا بِرَبِّ الْمَلَكُوْتِ وَتَوَكَّلْنَا عَلىَ الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوْتُ ,اللهُمَّ اصْرِفْ عَنَّا هَذَا الْوَبَاءَ بِلُطْفِكَ ياَلطِيْفُ يَاخَبِيْرُإِنَّكَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
رَبَّناَ اغْفِرْ لَناَ وَلِإِخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِالإِيمْاَنِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِناَ غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّناَ اِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيْمٌ. رَبَّناَ آتِناَ فِيْ الدُّنْياَ حَسَنَةً وَفِيْ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِناَ عَذَابَ النَّارِ وَالحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العاَلمَيِنَ.
و السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
*Disampaikan pada Shalat Idul Fitri di Balai Kota DKI Jakarta, 1 Syawal 1445 H